TEMPO.CO, Jakarta -- Putusan terseram sudah diketuk: hukuman mati. Vonis dari majelis hakim yang diketuai Asep Iwan Iriawan itu bergema di Pengadilan Negeri Tangerang. Mendengar vonis itu, terdakwa Deni langsung pingsan. Sedangkan saudaranya, terdakwa Rani, berusaha tetap tegar. Demikian pula sepupu mereka, terdakwa Meirika Franola alias Ola. Namun, seusai persidangan, begitu sampai di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Ola pun tak tahan. Ibu dua anak itu pingsan.
Majalah Tempo edisi 3 September 2000 mengulas jalannya sidang yang berakhir dengan vonis mati terhadap terpidana narkotik tersebut. Hakim Asep Iwan Iriawan, 38 tahun, yang masih lajang, dan jaksa Mursidi menganggap vonis mati itu sudah tepat. Sebab, perbuatan Ola dan dua sepupunya dinilai keterlaluan. Mereka setidaknya sudah tujuh kali melakukan "ekspor-impor" narkotik. Tak aneh bila Ola dan sepupunya dianggap sebagai pengedar narkotik tingkat internasional.
Tak cuma itu. Heroin dan kokain yang mereka bawa juga terhitung narkotik kelas satu yang mahal harganya. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung: 7,1 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain.
Bobot kasus itu, sekaligus modusnya yang canggih, dianggap pula sebagai salah satu penyebab makin menjadi-jadinya transit narkotik internasional ke Indonesia. Dan peredaran serbuk setan itu pun di sini terus merebak. "Para pelaku kasus narkotik enak-enakan bergelimang untung di atas mayat warga masyarakat korban narkotik," ujar jaksa Mursidi.
Itu sebabnya, jaksa dan hakim merasa vonis itu sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memerangi narkotik dan obat terlarang. Sebelumnya, Jaksa Agung Mazuki Darusman memang menginstruksikan agar jajarannya bersikap keras terhadap kasus narkotik. Begitu juga Ketua Mahkamah Agung ketika dijabat Sarwata, yang pada 30 Juni 2000 mengimbau para hakim agar menjatuhkan hukuman adil terhadap kasus-kasus menarik, di antaranya narkotik.
Memang, kedua penegak hukum itu mengakui bahwa Undang-Undang Antinarkotik Tahun 1997 tak menentukan batas minimal jumlah narkotik yang bisa dikenai hukuman mati. Karena itu, lima terdakwa warga negara asing yang membawa narkotik di bawah 2 kilogram juga dihukum mati. Kalaupun hendak dibedakan, kata Mursidi, paling banter antara pengedar, penyimpan, dan pengguna, yang masing-masing bisa dihukum mati, penjara 15 tahun, dan penjara lima tahun.
Rekor Pengadilan Negeri Tangerang, yang memvonis mati terdakwa kasus narkotik, diacungi jempol oleh banyak pihak. Pengacara Henry Yosodiningrat, yang anaknya menjadi korban penyalahgunaan narkotik dan kini giat mengampanyekan gerakan antinarkotik, menganggap vonis mati bisa membuat para pelaku narkotik jera.
Selain itu, rentetan vonis mati akan membuat kalangan hakim tak lagi main-main. Bayangkan, akibat vonis narkotik yang acap ringan karena peradilan gampang digoyang uang, seorang narapidana kasus narkotik di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang sampai berani sesumbar. Narapidana yang mantan polisi itu mengaku akan membawa berton-ton ganja bila sudah bebas dari penjara. Rupanya, sang narapidana cuma dihukum dua tahun penjara akibat membawa berkilo-kilogram ganja, sementara narapidana lain yang membawa sedikit ganja dihukum lima tahun penjara.
TEMPO
Baca juga:
Kisah Ola 1: Jalan Berliku Gadis Cianjur
Kisah Ola 2: Terpesona Pedagang Pakaian
Kisah Ola 3: Magic dan Kedok Suami
Kisah Ola 4: Dari Kurir Jadi Drug Trafficker
Kisah Ola 5: Lurah di Cianjur pun Tergiur
Kisah Ola 6, Alex Bambang: Ola Pemain Sandiwara
Kisah Ola 7: Nyanyian Khayalan di Penjara
Kisah Ola 8: Ini Profil Hakim yang Vonis Mati