TEMPO.CO, Depok - Mantan Wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla prihatin dengan konflik yang kerap terjadi di masyarakat belakangan ini. Dia mencatat, setelah reformasi, ada 15 konflik besar di Tanah Air. Sepuluh di antaranya disebabkan kekecewaan masyarakat kepada pemimpinnya.
"Dewasa ini demokrasi kita justru sering menimbulkan konflik, apa yang salah sebenarnya?" kata Kalla saat memberi kuliah umum tentang "Konflik dan Konsolidasi Demokrasi Indonesia" di Universitas Indonesia, Rabu, 14 November 2012.
Menurut Ketua Umum Palang Merah Indonesia ini, sejatinya demokrasi adalah cara bangsa mencapai tujuan. Sehingga demokrasi harus menjadi dasar untuk pengambilan sebuah keputusan dan bukan menciptakan masalah dan konflik. "Tapi konflik pemikiran memang ada," katanya.
Setelah rezim Orde Baru tumbang, banyak hal yang telah terjadi. Pada masa Abdurahman Wahid (Gusdur), konflik Poso meletus karena isu pluralisme agama. Padahal, Gusdur adalah orang pluralisme. "Konflik Poso yang menginginkan pluralisme justru ada pada zaman dimana pemimpin inginkan pluralisme," katanya. "Gusdur orang pluralisme, tapi sulit menjalankannya di lapangan."
Kalla mengatakan, pada masa Orde Baru, demokrasi memang membuat harmoni. Apalagi pengambilan keputusan hanya ada pada tiga lembaga, yaitu birokrasi pemerintah, partai Golongan Karya, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Semua elemen bangsa saat itu menerima apa pun keputusan tiga lembaga itu. "Sekarang yang terjadi adalah syok demokrasi," katanya.
Kalla mencontohkan dalam konflik di Ambon. Saat itu agama dijadikan isu karena mampu mendapatkan solidaritas yang banyak. Konflik di sana juga berawal dari kekecewaan mereka pada pemerintah. "Dulu orang bersedia membunuh karena gereja mengatakan membunuh itu akan masuk syurga," kata Kalla.
Kesimpulannya, kata Kalla, kerusuhan terjadi akibat pemimpin tidak menjalankan demokrasi dengan baik. Di lain pihak, masyarakat salah mengartikan makna demokrasi. Akibatnya, rakyat memutuskan masalah mereka dengan cara masing-masing. "Ini karena lemahnya penanganan hukum," kata Kalla. "Jika masyarakat yang memutuskan dan mengeksekusi setiap masalah, maka terjadilah hukum rimba di Indonesia."
Begitu juga dengan konflik yang terjadi di Lampung. Bukan menangani konflik itu dengan serius, pemerintah justru menyatakan kejadian itu hanya masalah keluarga dan keluarga korban tewas sudah memaafkan. "Bagus juga, seperti hukum syari'ah. Tapi pelaksanaan hukum positif tidak jalan," katanya.
Kalla meminta seluruh masyarakat memahami secara sungguh-sungguh makna demokrasi Indonesia. Yaitu, demokrasi yang digunakan untuk mencapai tujuan bangsa dan terikat hukum. Sejalan dengan semangat itu, pemerintah juga harus menegakan hukum dengan sungguh-sungguh. "Selama rakyat dijelaskan dengan benar, mereka akan menerima," katanya. Dalam melakukan pendekatan, pemerintah diminta memakai hati dan otak. "Kita harus seimbangkan. Kalau memakai salah satunya saja maka akan kacau."
ILHAM TIRTA
Berita Terpopuler:
Kepala BPMigas Sedih Banyak Digugat Ormas Islam
Mahfud Tantang Sudi Silalahi
Muslim Inggris Diminta Turut Rayakan Natal
Wanita di Tengah Skandal Seks Direktur CIA
Ola Pernah Minta Bantuan Ayin