TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi penegakan hak asasi manusia, Amnesty International, mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuntaskan kasus penghilangan paksa 13 aktivis politik tahun 1997-1998. "Kami mendesak Presiden bertindak sesegera mungkin dan secara efektif memerangi impunitas penyelesaian kasus tersebut," kata Deputi Direktur Program Amnesty International kawasan Asia-Pasifik Pollyanna Truscott, Kamis, 30 Agustus 2012.
Yudhoyono diminta Amnesty mengambil sejumlah langkah strategis. Pertama, menginstruksikan Jaksa Agung menyelidiki penghilangan paksa ke-13 aktivis politik. Setelah bukti-bukti terkumpul, kasus itu harus segera dibawa ke meja hijau. Kedua, membentuk pengadilan HAM ad hoc sebagaimana direkomendasikan Komisi Nasional (Komnas) HAM dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketiga, memberikan restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan jaminan non-repetisi bagi korban dan keluarga korban penghilangan paksa. Keempat, membentuk penyelidikan independen yang netral dan efektif. Kelima, segera meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan atas Penghilangan Paksa dan bersedia dikunjungi serta berkomunikasi dengan Kelompok Kerja Persatuan Bangsa-Bangsa tentang Penghilangan Paksa (WGEID).
Amnesty menilai Yudhoyono sebagai Presiden mestinya mendukung penuh kampanye pembela HAM dalam rangka Hari Internasional dari Korban Penghilangan Paksa. Caranya dengan memastikan jalannya penyelidikan terhadap hilangnya ke-13 aktivis pro-demokrasi, yakni Sonny, Yani Afri, Ismail, Abdun Nasser, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Wiji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, Bimo Petrus Anugerah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, dan Hendra Hambali.
"Lebih dari satu dekade telah berlalu sejak hilangnya mereka. Sementara keluarga korban terus menunggu kebenaran nasib dari orang yang mereka cintai. Mereka juga menunggu perbaikan dari pemerintah dalam penanganan kasus ini," ujar Pollyanna.
Pollyanna menjelaskan, perhatian Presiden dalam kasus ini bisa diwujudkan dengan memastikan Komnas HAM mendirikan pengadilan HAM ad hoc dan menyelidiki orang-orang yang diduga bertanggung jawab secara pidana dalam penculikan paksa tersebut. Apalagi, pada September 2009, DPR sudah mengeluarkan rekomendasi pada Presiden ihwal pembentukan pengadilan HAM dan pemberian rehabilitasi serta kompensasi bagi keluarga korban.
Dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, menurut Amnesty, menjadi ukuran apakah pemerintah RI memenuhi hak keadilan, kebenaran, dan perbaikan kondisi keluarga korban penghilangan paksa, yang diakui hukum internasional. Komitmen itu juga signifikan terhadap peran Indonesia dalam pembentukan mekanisme pelaksanaan HAM di ASEAN. "Negara harus menjamin hak-hak keluarga korban untuk mengetahui kebenaran tentang apa yang terjadi," ujar Pollyanna.
ISMA SAVITRI