TEMPO.CO, Jakarta - Dua mantan narapidana kasus korupsi, Sudirman Hidayat dan Samsul Hadi Siswoyo, merasa dirugikan dengan keberadaan Pasal 58 huruf (f) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Alasannya, keberadaan UU tersebut menghambat hak-hak politik mereka untuk menjadi kepala daerah.
"Para pemohon, setelah dibebaskan, masih merasa dirugikan hak-hak politiknya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah akibat keberadaan Pasal 58 huruf (f) tentang Pemda," kata ketua kuasa hukum pemohon, Muhammad Asrun, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 28 Agustus 2012.
Karena itu, pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Padahal pasal tersebut menyebutkan, setelah bebas, mantan napi dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Namun, dasar gugatan itu dinilai keliru oleh ketua majelis hakim Akil Mochtar. Menurut Akil, seharusnya yang digugat adalah Pasal 58 huruf (f) tentang Pemerintah Daerah, yang dianggap menambah bentuk hukuman selain pidana, terutama terkait hak-hak politiknya. "Menurut saya, masih ada harapan, gugatan uji materiil ini dibalik," ujar Akil.
Menurut dia, Pasal 58 huruf (f) harus diujikan terhadap Pasal 3 dan Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 1995. Pemohon harus menegaskan status warga negara seorang narapidana yang telah bebas harus jelas tanpa ada syarat hukuman tambahan lainnya. Pasal 58 huruf f UU Pemda yang dimaksud melarang narapidana yang terjerat kasus pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun untuk ikut pemilihan kepala daerah.
AYU PRIMA SANDI