TEMPO.CO, Malang -- Zulaikah, 38 tahun, terbaring lemah tak sadarkan diri, kaget setelah layanan cuci darah di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang untuknya dihentikan. Pemegang layanan Jaminan Kesehatan Daerah ini gagal cuci darah karena Pemerintah Kabupaten Malang menunggak tagihan pembayaran pasien miskin.
"Dia langsung drop, beberapa kali layanan cuci darah dihentikan," kata Liana, ibu Zulaikah, Selasa, 31 Juli 2012. Jika tak menjalani cuci darah, Zulaikah mengalami sesak napas, nafsu makan turun, dan selalu mengeluh sakit di punggungnya. Setiap pekan, ia harus menjalani cuci darah.
Zulaikah adalah satu dari ribuan pasien yang gagal menjalani perawatan medis murah di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejak dua pekan lalu, penderita gagal ginjal diliputi kecemasan setelah Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang menolak pasien pemegang surat pernyataan miskin (SPM).
Manajemen RSSA Malang menghentikan pelayanan warga Kabupaten Malang yang dirujuk melalui Jamkesda dan SPM. Sebab, Pemerintah Kabupaten Malang menunggak biaya perawatan hingga Rp 11,8 miliar. "Pelayanan dibuka setelah utang dibayar," kata Direktur RSSA Malang Basuki Bambang Purnomo.
Perinciannya, tahun 2011, dari total tagihan sebesar Rp 26 miliar, Pemerintah Kabupaten Malang membayar Rp 21 miliar. Pertengahan 2012, tagihan mencapai Rp 14,5 miliar, sedangkan yang terbayar Rp 7,7 miliar. Kasus ini tak hanya terjadi di Kabupaten Malang. Kejadian serupa juga menimpa enam kota dan kabupaten di Jawa Timur.
Koordinator Jaringan Kerja Anti-Korupsi (JKAK), Jawa Timur, Luthfi Jayadi Kurniawan, menilai, pemerintah gagal memenuhi hak dasar sektor kesehatan. Pemerintah dianggap tak memiliki skema penyusunan anggaran secara berjenjang. Meliputi program Jamkesmas menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Jamkesda yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur, serta SPM dari APBD kabupaten dan kota.
"Penyusunan anggaran amburadul," katanya. Akibatnya, hingga pertengahan tahun, seluruh dana Jamkesda dan SPM habis. Seharusnya pemerintah menyusun indeks kebutuhan masyarakat yang dihitung berdasarkan potensi penggunaan dana pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Selain itu, JKAK mencium aroma korupsi dalam penggunaan anggaran tersebut. Korupsi diduga terjadi di rumah sakit penerima Jamkesda dan SPM, serta Dinas Kesehatan yang mengeluarkan SPM. Rumah sakit menggelembungkan tagihan biaya perawatan pasien Jamkesda dan pemegang SPM.
"Penggelembungan tagihan bisa berselingkuh dengan Dinas Kesehatan," katanya. Sementara inspektorat jarang melakukan pengawasan secara mendetail dan masyarakat tak bisa mengontrol langsung proses tersebut. Untuk itu, ia mendesak agar pengawasan penggunaan anggaran diperketat.
Bupati Malang Rendra Kresna menginstruksikan dibentuk tim investigasi untuk mengusut penyalahgunaan dana tersebut. Ia mencurigai terjadi kebocoran penggunaan dana Jamkesda dan SPM. "Harus diusut. Jangan bobol lagi, penerima SPM harus diseleksi," ujarnya.
Rendra menemukan fakta banyak pasien yang secara ekonomi mampu, namun mereka pura-pura miskin untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis. Bahkan pengajuan SPM dilakukan oleh calo. "Jika ada pelanggaran, harus ditindak," perintah Rendra.
Kecurigaan Rendra beralasan. Dari total 641 ribu peserta Jamkesmas, total klaim pembayaran biaya pengobatan sebesar Rp 3,5 miliar. Sementara dari peserta SPM sebanyak 4.100, total tunggakan mencapai Rp 7,8 miliar. Mekanisme untuk mengeluarkan SPM pun diperketat. Pemerintah Kabupaten Malang menurunkan bidan desa untuk ikut mengawasi ke lapangan.
Senasib dengan Zulaikah, Galih Arabi, 17 tahun, tertunduk lesu menunggu cuci darah di Rumah Sakit Kanjuruhan Kepanjen. Tak bisa dibayangkan jika pemerintah tak menganggarkan dana kesehatan bagi mereka.
Galih putus sekolah di sekolah menengah kejuruan Blitar. Ia tak bisa melanjutkan pendidikan setelah tubuhnya digerogoti penyakit kronis. Dana dari pemerintah menjadi tumpuan hidup warga Jatiguwi, Sumberpucung, ini. "Kalau tak bisa cuci darah, nyawa bisa melayang," katanya lemah.
EKO WIDIANTO