TEMPO.CO, Jakarta - Dokter spesialis paru Rumah Sakit Persahabatan Ahmad Hudoyo mengatakan mayoritas perokok menyadari bahaya kebiasaan buruk mereka. "Tetapi sebagian besar dari mereka tetap merokok," kata Hudoyo dalam seminar bertajuk Hidup dalam Lingkungan Sehat dengan Tidak Merokok di Klub Kelapa Gading Sabtu, 23 Juni 2012.
Penyebabnya karena sejumlah faktor, yaitu karena perokok tidak memiliki motivasi berhenti, tidak tahu cara berhenti, serta karena sudah teradiksi atau kecanduan. Selain itu, penyebab perokok enggan berhenti adalah karena sikap masa bodoh masyarakat terhadap bahaya merokok.
"Mereka melihat kenyataan sehari-hari dan berpikir, kakek saya perokok, namun dia tetap hidup sehat hingga saat ini. Sementara bu Endang (mantan Menteri Kesehatan RI Endang Rahayu Sedyaningsih) yang tidak merokok malah meninggal karena sakit kanker paru," kata dia. Situasi ini membuat mereka beranggapan bahwa rokok tidak menimbulkan bahaya yang signifikan terhadap tubuh.
Padahal berdasarkan data epidemiologi kangker paru dari Ikatan Dokter Paru Indonesia menunjukkan, tiga dari seribu perokok berpotensi terkena kanker paru tiap tahunnya. Sementara mereka yang tidak merokok, epidemiologinya hanya enam dari 100 ribu penduduk yang berpotensi terkena kanker paru."Artinya, potensi kanker paru pada perokok, tetap lebih besar dari pada bukan perokok," kata dia.
Apalagi hanya 10 hingga 20 persen pasien dapat disembuhkan kankernya melalui operasi pengangkatan. Sedangkan sisanya, mereka yang sudah telanjur masuk ke stadium akhir, ia katakan harus menjalani terapi kanker atau kemoterapi yang biayanya mencapai Rp 15 juta sekali terapi. Minimal penderita menjalani satu paketnya enam kali terapi. Atau dengan terapi obat yang satu butirnya mencapai harga Rp 800 ribu per butir dan harus diminum satu kali sehari seumur hidupnya.
RAFIKA AULIA