TEMPO.CO, Jambi - Sedikitnya 25 ribu hektare lahan dan hutan di Jambi akan dialihfungsikan. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan usulan sebelumnya yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuat Pemerintah Provinsi Jambi, yakni 128 ribu hektare.
"Memang dari 128 ribu hektare hanya 25 ribu hektare lahan dan hutan yang disahkan untuk dapat dialihfungsikan dengan pertimbangan untuk menjaga efisiensi hutan di Jambi. Karena sampai saat ini, hutan Jambi masih 30 persen lebih dari luas wilayah Jambi," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jambi, Fauzie Ansori, kepada wartawan, Kamis, 14 Juni 2012.
Dalam rancangan peraturan daerah RTRW Jambi tergambar pola pembangunan 20 tahun ke depan, dibagi beberapa wilayah. Misalnya Kabupaten Sarolangun, Bungo, Tebo, Muarojambi dan Tanjungjabung Barat akan menjadi kawasan pertambangan batubara. Kawasan pembangunan sektor perkebunan dikembangkan di wilayah Batanghari, Merangin dan Muarojambi. Sedangkan Tanjungjabung Timur menjadi wilayah pengembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.
Sebelumnya, rancangan RTRW ini dikritik sejumlah pihak.
Yayasan CAPPA, misalnya, menilai rancangan peraturan daerah tentang RTRW itu akan menimbulkan konflik baru antara masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan dan pertambangan serta pemerintah itu sendiri.
"Karena dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang hanya menguntungkan pihak investor, tapi mengabaikan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal," Pariyanto, Program Coordinator of Tenurial Land, Local Livelihoods and Conflict Resolution, Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi.
Sementara itu, Arif Munandar, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi menilai, sedikitnya 160 ribu hektare kawasan hutan di Jambi terancam mengalami degredasi akibat adanya pemnyusunan RTRW yang dibuat tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan.
SYAIPUL BAKHORI