TEMPO.CO, Jakarta - Namanya Aldi Suganda. Kini usianya 3 tahun. Tapi pengalaman merokok si buyung sungguh tak tertandingi. Tak tanggung-tanggung, ia mulai mengisap benda bernikotin itu sejak usia 11 bulan! Pada puncak kecanduannya terhadap kretek, putra seorang nelayan ini bahkan mesti mengkonsumsi sigaret hingga 40 batang per hari. Jika tak merokok, Aldi akan membentur-benturkan kepalanya ke benda lain.
Mengenaskan memang. Tapi untunglah, masa suram itu lewat sudah. Aldi, yang ibunya bekerja sebagai penjual ikan di Banyuasin, Sumatera Selatan, sudah setengah tahun ini berhasil bebas dari jeratan candu kretek. “Butuh usaha lebih untuk merehabilitasi Aldi,” kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Rabu 23 Mei 2012 pekan lalu. Komisi inilah yang mengupayakan rehabilitasi tersebut. (Baca juga: Jumlah Perokok Muda Kian Meningkat)
Awal perkenalan Aldi dengan rokok dari lingkungan. Ia kerap bergaul dengan orang dewasa. “Semua orang dewasa di lingkungannya merokok dan minum kopi,” kata Arist. Dari lingkungan macam itulah ia merasakan nikmatnya mengisi paru-paru dengan asap beracun. Kisah si kecil yang kecanduan rokok ini sempat mendunia lewat film dokumenter Sex, Lies, and Cigarettes garapan Christof Putzel.
Lalu dilakukanlah upaya penyelamatan terhadap Aldi. Setelah menjalani terapi selama sebulan, Aldi dijauhkan dari rumahnya dan tinggal di sebuah bangunan untuk pendidikan anak usia dini di kampungnya. Di tempat steril ini, Aldi tinggal selama setengah tahun.
Aldi tak sendiri. Komnas Perlindungan Anak kini berusaha merehabilitasi setidaknya 20 bocah pecandu rokok lainnya. Mereka, antara lain, Sandi Adi Susanto, 4 tahun, yang mulai merokok sejak usia satu setengah tahun. Anak yang tinggal di Kelurahan Kepuh, Kecamatan Sukun, Malang, Jawa Timur, ini setiap pagi meminta sebatang rokok dan segelas kopi.
Ada juga Reno Ardiansyah, 1 tahun 8 bulan. Bocah asal Prabumulih, Sumatera Selatan, ini merokok sejak usia 14 bulan. Awalnya ia hanya menjilat-jilat busa filter yang ada di pangkal batang rokok. Jika ayahnya merokok, Reno suka meminta satu atau dua isap.
Gejala apakah ini? Benarkah usia perokok di negeri ini kian muda? Kisah 20 bocah itu mungkin suatu kasus belaka. Tapi, bahwa usia perokok kian muda benar adanya. Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, mengatakan penelitian menunjukkan jumlah perokok remaja di Indonesia melonjak dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Dari sebelumnya 7 persen pada 1995, menjadi 19 persen pada 2010.
Jumlah perokok Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik, diperkirakan 65 juta dari 237 juta jiwa penduduk Indonesia (2010). Pertumbuhan perokok remaja pria yang sebelumnya 14 persen (1995) menjadi 37 persen pada 2010. Adapun persentase perokok remaja perempuan sudah mencapai 1,6 persen pada 2010, lima kali lipat dari yang sebelumnya “hanya” 0,3 persen. “Kalau lonjakan tersebut dibiarkan, persentasenya akan makin besar," Abdillah mewanti-wanti.
Dia mengungkapkan, pertumbuhan pesat para perokok muda terutama disebabkan oleh gencarnya iklan, sponsor, dan promosi rokok besar-besaran. Menurut dia, target industri rokok saat ini bukan lagi orang tua, melainkan remaja. Indikasinya adalah banyaknya iklan rokok yang menonjolkan gaya hidup para ABG itu.
Namun, secara umum, ada empat hal yang memicu pertumbuhan perokok. Pertama, murahnya harga rokok di Indonesia. Kedua, gencarnya iklan rokok. “Di depan sekolah dasar pun ada iklan rokok. Di bawahnya ada warung yang jual rokok,” ujar Abdillah. Penyebab ketiga, minimnya peraturan tentang kawasan bebas rokok. Dan keempat, nihilnya gambar peringatan di bungkus dan iklan rokok.
Abdillah menuding pemerintah Indonesia tidak serius melindungi penduduknya dari bahaya rokok. Di negara lain, menurut dia, presiden bangga membuat aturan melarang rokok. “Di sini presiden malah meresmikan pabrik rokok,” katanya.
Manajer Program Advokasi Iklan Rokok Komnas Perlindungan Anak, Linda Sundari, mengatakan minimnya aturan memicu peningkatan jumlah perokok anak dan remaja. Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tembakau sesungguhnya tinggal ketuk palu. Namun Ketua Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan Arsil Rusli pesimistis aturan ini segera disetujui. Sudah enam kali rapat kabinet terbatas, tapi pembahasan aturan ini selalu tertunda.
Benarkah seretnya aturan itu diwujudkan disebabkan oleh adanya penghadangan dari industri rokok? Entahlah. Yang jelas, Sekretaris Korporasi Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia Hasan Azis menegaskan, industri rokok tak menyetujui rancangan tersebut. Selain menampik penerapan aturan kawasan tanpa rokok, industri menolak aturan peringatan bergambar dalam bungkus ataupun iklan rokok.
Industri menolak usul ukuran gambar peringatan bahaya rokok 40 persen dari bungkus ataupun iklan. “Kami setuju 20 persen, karena harus ada tempat juga buat peringatan tertulis,” kata Hasan.
Dia juga menampik tudingan industri rokok merupakan biang kerok banyaknya anak muda menjadi perokok pemula. “Ini masalah multifaktor. Jangan industri kemudian disalah-salahkan,” ujar Hasan.
Entah kepada siapa pemerintah nanti akan berpihak. Tapi, sejak kini, para pendidik, orang tua, dan mereka yang prihatin terhadap gejala kian dininya usia perokok tak ada salahnya menyimak ajakan para aktivis anti-rokok. Mereka menyerukan penolakan atas semua sumbangan produsen (industri) rokok kepada remaja dan anak-anak, tak terkecuali program beasiswa.
Menurut para aktivis, sumbangan berwujud program dengan tanggung jawab sosial tersebut adalah upaya membungkam gerakan anti-rokok, atau melegitimasi remaja untuk merokok.
Arus pertumbuhan perokok remaja sepertinya memang mencemaskan. Diperlukan langkah-langkah agar negeri ini tak harus membentangkan spanduk meriah bertulisan, “Selamat Datang, Para Perokok Muda!”
SUNUDYANTORO | ANANDA BADUDU | ISTMAN MP