TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris korporasi Gabungan Perserikatan Perusahaan Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Azis mengatakan bahwa industri rokok tak setuju atas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pengendalian rokok yang kini tengah dibahas kementerian. Ia mengatakan poin-poin dalam RPP terlalu ketat mengenai pengaturan penjualan dan penggunaan rokok.
“Kami tidak setuju jika RPP mengeliminasi rokok. Kalau sebatas mengendalikan tidak ada masalah,” kata Hasan saat dihubungi pada Rabu, 23 Mei 2012 siang.
Salah satu poin yang ditentang industri, kata Hasan, adalah poin pengaturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Menurut Hasan, dalam RPP diatur bahwa orang tidak boleh merokok di kantor. Ia keberatan dengan poin tersebut. “Masak di kantor sendiri tidak boleh merokok,” ujarnya.
Poin lain yang tak disetujui oleh industri adalah peringatan bergambar dalam bungkus maupun iklan rokok. Hasan mengatakan industri menolak usul besar gambar peringatan memakan porsi sebanyak 40 persen dari bungkus maupun iklan. “Kami setuju 20 persen,” katanya.
Sebelumnya, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengkritik pemerintah karena tak kunjung merampungkan aturan pengendalian penjualan rokok. Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan negara lalai karena membiarkan masyarakat tak terlindungi dari bahaya rokok. “Oleh karena itu, kami berencana menggugat,” kata Arist pada Rabu, 22 Mei 2012 kemarin.
Arist mengatakan minimnya aturan pengendali peredaran rokok memicu kenaikan jumlah perokok pemula, terutama kalangan muda. “Meningkat terus dari tahun ke tahun, tidak pernah turun,” katanya. Data Kementerian Kesehatan menyebut ada peningkatan jumlah perokok berusia 15-24 tahun. Pada 2007 perokok usia 15-24 tahun mencapai 17,3 persen dari seluruh perokok di Indonesia, sedangkan pada 2010 meningkat menjadi 31,1 persen.
ANANDA BADUDU