TEMPO.CO, Jakarta- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan bentuk pertanggung jawaban negara terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak hanya sebatas permintaan maaf. Negara, menurut LPSK, dapat menggunakan seluruh perangkat peraturan perundang-undangannya untuk melakukan upaya reparasi yang lebih konkret.
“Korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapatkan bantuan medis, psikologis dan kompensasi ganti kerugian atas pelanggaran HAM yang mereka alami,” kata ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam rilisnya Kamis, 26 April 2012. Untuk itu, kata dia, Presiden Susilo bambang Yudhoyono dapat mendayagunakan LPSK dalam menangani reparasi terhadap kepada para korban.
Ia menjelaskan, melalui LPSK korban dapat diberikan pemulihan medis dan psikologi serta memperoleh ganti rugi. Abdul beralasan, LPSK telah diberikan mandat melalui Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban untuk melakukan hal-hal itu.
Selain itu, kata dia, rencana presiden untuk meminta maaf dapat dijadikan cara untuk meminimalisasi kendala pelaksanaan pembayaran kompensasi nantinya. “Harapannya setelah adanya permintaan maaf, presiden juga berinisiatif untuk membuat terobosan agar pemberian kompensasi dapat diberikan melalui putusan pengadilan,” ujar Abdul. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban memang menyebutkan pembayaran kompensasi baru dapat terlaksana setelah adanya putusan pengadilan.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana meminta maaf atas nama negara terkait dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu. "Presiden masih menunggu waktu yang tepat untuk minta maaf," kata Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM Albert Hasibuan pada Rabu, 25 April 2012.
Menurut Albert wacana ini sudah muncul sejak bulan Januari 2012. Albert mengatakan presiden pernah meminta Watimpres untuk membuat rekomendasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
LPSK, kata Abdul, mengapresiasi positif niat presiden tersebut. “Ini merupakan langkah maju dan bentuk tanggung jawab negara bagi korban pelanggaran HAM yang selama ini nasibnya terkatung-katung,” kata dia.
RAFIKA AULIA