TEMPO.CO, Jakarta- Pengamat politik dari Center Strategic of International Studies (CSIS) J. Kristiadi, menilai tidak ada urgensinya memekarkan 19 daerah yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat. "Itu hanya jadi komoditi politik, tidak ada efek kemakmurannya bagi masyarakat," katanya ketika dihubungi Tempo 22 April 2012. "Memangnya ada daerah otonom yang sukses? Hasilnya malah kemelaratan."
Ia mencurigai pemekaran daerah hanya dilakukan dengan rekayasa para elite politik. "Untuk membesarkan organisasi parpol dan medan ekspansi pejabat-pejabat daerah yang sudah tidak bisa menjabat supaya dapat jabatan," ujarnya.
Menurutnya akan lebih baik bila program pemerintah saat ini untuk membenahi daerah-daerah yang sudah telanjur dimekarkan. "Jangan sampai ongkos besar namun hasilnya tidak memadai," katanya. "Pemerintah harus memberikan disentif atas program pemekaran."
Sebelumnya Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah Otonomi Baru yang diusulkan Komisi II DPR. Dalam RUU tersebut Badan Legislasi meloloskan 19 daerah yang akan dimekarkan.
Komisi Pemerintahan DPR dari Fraksi PKB, Abdul Malik Haramain menyatakan DPR sudah melakukan seleksi ketat mengenai persyaratan daerah yang akan dimekarkan. Menurut dia, sebagian besar dari 19 daerah yang akan dimekarkan tersebut berada di daerah perbatasan. Menurut dia, daerah perbatasan menjadi prioritas daerah pemekaran karena rentan kendali yang terlalu jauh dari pemerintahan pusat sehingga mengakibatkan pembangunan infrastruktur yang terlambat.
Sepanjang sepuluh tahun, dari 1999 hingga 2009, daerah otonomi di Indonesia terus bertambah sebanyak 205, terdiri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Penambahan ini membuat jumlah daerah otonomi di Indonesia kian banyak, menjadi 524 daerah, terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Tanggal 25 April mendatang-Hari Ulang Tahun Otda- Menteri Gamawan Fauzi akan membebarkan hasil evaluasinya terhadap daerah 205 otonom.
ANANDA PUTRI | ANGGA KUSUMA