TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, menyayangkan putusan hakim yang tidak memerintahkan Muhammad Nazaruddin membayar uang pengganti. Padahal, dalam pertimbangan vonis, hakim menyatakan Nazar terbukti menerima komisi Rp 4,6 miliar dari proyek Wisma Atlet Jakabaring. “Tak wajar jika Nazar tidak dibebani uang pengganti,” ujarnya saat dihubungi, Jumat 20 April 2012.
Menurut Yenti, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengatur kewajiban terdakwa membayar uang pengganti jika hakim menyatakannya terbukti melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Karena itu, putusan hakim yang tidak membebani Nazar dengan uang pengganti dinilai menyalahi rumusan UU.
Keputusan hakim tidak membebankan uang pengganti, disebut Yenti pernah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dua tahun lalu. Setelah ditelusuri, hakim kasus tersebut ternyata lupa memasukkannya dalam amar putusan. “Ternyata sekarang terulang lagi. Kasusnya besar pula,” ujarnya.
Dalam sidang hari ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Nazaruddin dinyatakan terbukti bersalah menerima gratifikasi. Ia dihukum penjara empat tahun sepuluh bulan, dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara. Hakim menilai Nazar sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat terbukti menerima pemberian dari PT Duta Graha Indah.
Pasal yang digunakan hakim sebagai pertimbangan putusan berbeda dengan jaksa. Hakim menilai Nazar terbukti melanggar pasal gratifikasi, sedangkan jaksa menilai Nazar terbukti melanggar pasal suap. Hakim beralasan, saat perkara terjadi Nazar berstatus anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun proyek Wisma Atlet anggarannya dibahas di Komisi Olahraga.
ISMA SAVITRI