TEMPO.CO, Jakarta- Kementerian Pertahanan diminta mengkaji ulang dan mengevaluasi pembelian enam pesawat Sukhoi dari Rusia. Kajian ulang ini penting karena ada indikasi kejanggalan dan ketidakwajaran harga serta keterlibatan agen. “Harus dievaluasi secara serius kontrak pembelian ini,” kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo di gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis, 15 Maret 2012.
Selain ICW, pengaduan terhadap pembelian Sukhoi ini juga dilakukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Imparsial, Kontras, Instituten for Defense Security and Peace Studies, Elsam dan Human Rights Working Group. Dalam paparannya, mereka mempertanyakan alasan Indonesia memilih skema dana pinjaman luar negeri atau kredit komersial untuk pembelian tersebut. ”Padahal Pemerintah Rusia sudah menyediakan fasilitas pinjaman (state loan) senilai US$ 1 miliar,” kata Adnan.
Adnan menyatakan, konsekuensi pemakaian kredit komersial adalah jangka waktu pengembalian relative pendek, berkisar antara 2 hingga 5 tahun. Tak hanya itu, skema ini juga dikenai biaya bank dan bunga tinggi berdasarkan suku bunga pasar.
Sebaliknya, Adnan menjelaskan, jika menggunakan fasilitas kredit Pemerintah Rusia, pengembalian bisa mencapai 15 tahun dengan bunga lebih rendah. Selain itu, skema ini juga dilakukan di antara dua pihak sehingga tidak perlu melibatkan agen. “Adanya keterlibatan agen membuat dugaan adanya permainan harga dan fee yang harus dibayar,” kata dia.
Dalam analisis pembelian, anggaran yang disediakan untuk pembelian ini adalah sebesar US$ 470 juta atau sekitar Rp 4,23 triliun. Kementerian Pertahanan akan membeli enam pesawat Sukhoi SU 30MK2 seharga US$ 54,8 juta (setara Rp 493 miliar). Total dana yang diperlukan mencapai US$ 328,8 juta sekitar Rp 2,95 triliun. Sisa anggaran rencananya dipakai pemerintah untuk membeli 12 mesin dan pelatihan 10 pilot dengan rencana biaya US$ 84,5 juta sekitar Rp 760 miliar. “Sisa anggaran sebesar US$ 56,7 juta atau sekitar Rp 510 miliar tidak dijelaskan untuk kepentingan apa?” ujarnya. Padahal harga resmi yang dipublikasikan produsen Sukhoi, Rosoboronexport adalah senilai US$ 60 hingga 70 juta atau sekitar Rp 540 miliar.
Tak hanya itu, Kementerian Pertahanan juga menunjuk PT Trimarga Rekatama sebagai agen pembelian. Padahal, menurut Adnan, Rosoboronexport memiliki perwakilan di Jakarta sehingga tidak perlu agen. “Ini menjadi bukti kuat keterlibatan agen dalam kejanggalan harga,” ujar Adnan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar menambahkan, pembelian pesawat tempur ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Menurut pegiat hak asasi ini, hal yang harus ditutupi pemerintah bukan mekanisme pembelian, tetapi strategi. “Ini harus dibuka karena pembelian memakai uang rakyat,” kata Haris.
Dia meminta Komisi Pertahanan DPR dan Kementerian Pertahanan, produsen Sukhoi dan Pemerintah Rusia untuk memberikan penjelasan keterangan secara tertulis mengenai prosedur pembelian Sukhoi. “Kami juga meminta kontrak pembelian dirinci ulang,” katanya.
I WAYAN AGUS PURNOMO