TEMPO.CO, Kupang - Juru bicara enam suku Timor, Daniel Neno, menegaskan pihaknya menuntut TNI Angkatan Udara yang menguasai tanah yang digunakan sebagai Pangkalan Udara dan Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, membayar ganti rugi senilai Rp 250 miliar. "Tanah kami yang telah dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan harus dibayar ganti rugi. Sedangkan sisanya dikembalikan kepada kami," kata Daniel kepada Tempo, Sabtu, 10 Maret 2012.
Enam suku Timor tersebut masing-masing suku Banu, Lael, Sabaat, Tafoki, Takuba, dan suku Ome. Tanah yang diklaim sebagai milik mereka seluas 543 hektare. Namun TNI-AU mengantongi sertifikat hak pakai yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional.
Diperinci oleh Daniel, tanah yang harus dibayar ganti rugi adalah yang digunakan untuk membangun berbagai fasilitas Bandara El Tari dan Pangkalan TNI-AU. Luasnya 100 hektare, yang merupakan bagian dari tanah milik enam suku seluas 543 hektare.
Nilai ganti rugi Rp 2,5 miliar didasarkan pada hitungan harga tanah Rp 2,5 juta per meter persegi. Tuntutan ganti rugi diajukan, kata Daniel, karena warga enam suku sudah mengalami kerugian yang cukup besar sejak tanah tersebut tidak bisa mereka manfaatkan.
Menurut Daniel, warga pada awalnya menawarkan penyelesaian sengketa dengan TNI-AU dilakukan secara kekeluargaan atau secara damai. Sebab terjadi kesalahan proses penerbitan sertifikat hak pakai yang diserahkan BPN kepada TNI-AU. Namun tawaran tersebut ditolak TNI-AU. Enam suku sebagai pemilik lahan secara turun-temurun tidak pernah diajak bicara oleh BPN maupun TNI-AU. Karena itu, warga menuding TNI-AU menggunakan kewenangan BPN untuk mencaplok tanah warga.
Warga enam suku tersebut sudah berkali-kali berupaya mendapatkan kembali tanahnya, termasuk mencoba menduduki Bandara El tari. "Kami tidak bermaksud menghambat kegiatan penerbangan. Kami hanya menuntut hak kami," ucap Daniel.
Sementara itu, Komandan Pangkalan Udara TNI-AU Letkol Navigasi Joko Winarto mempersilakan enam suku tersebut mengajukan tuntutan ganti rugi. Namun bukan kepada TNI-AU, melainkan kepada negara. Sebab TNI-AU sudah menyerahkan tanah tersebut kepada negara. ”TNI-AU hanya menjaga, mengelola, dan mengamankannya,” ujarnya.
Joko menegaskan TNI-AU menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan pertahanan negara. Karena itu, jika warga yang mengaku berasal dari enam suku Timor tersebut terus mempersoalkannya, bahkan menuntut ganti rugi, menurut Agus, maka sama artinya mereka mengganggu keamanan negara.
Joko tetap berharap warga enam suku tersebut menempuh jalur hukum jika merasa tanah tersebut merupakan miliknya. Aksi warga tersebut dinilai telah mengganggu pelaksanaan tugas TNI-AU. "Bagaimana kami menjalankan tugas pokok kalau mereka terus menuntut dan mengganggu penerbangan?” tuturnya.
YOHANES SEO