TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa teroris yang berencana meracuni polisi, Santhanam, mengaku baru belajar agama Islam. "Kira-kira dua atau tiga tahun yang lalu," kata Santhanam di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa, 6 Maret 2012.
Menurut Santhanam, dari kecil, dia tak mendapat pendidikan agama Islam karena diasuh neneknya yang beragama Hindu. Dia baru tertarik belajar Islam setelah diajak temannya mengikuti pengajian. Santhanam pun mengaku baru mengucapkan kalimat syahadat tiga tahun lalu.
Di pengajian yang diikuti terdakwa, ustadnya mengajarkan bahwa salah satu amal yang besar pahalanya adalah menjenguk para tahanan yang dicap teroris. "Mereka bukan teroris, tapi ustad kita," kata Santhanam menirukan ucapan guru di pengajian itu yang dia sebut bernama Alawi. Di pengajian itu pula, menurut Santhanam, ide meracuni polisi bermula.
Santhanam bersama Paimin, Umar alias Dhani, Ali Miftah, Wartoyo, Jumarto, dan Budi Supriadi, diduga berencana meracuni polisi di wilayah Jakarta. Mereka bersiasat memasukkan cairan yang dibuat dari biji jarak dicampur racun tikus ke minuman di kantin tempat para polisi biasa makan. Tapi aksi Shantanam dan kawan-kawan belum sempat mencelakakan aparat. Soalnya, pada Juni 2011, mereka lebih dulu ditangkap di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menyatakan kelompok ini berupaya melakukan permufakatan jahat serta percobaan atau pembantuan melakukan pidana terorisme. Selain di Jakarta, mereka diduga telah menetapkan polisi sebagai target di beberapa wilayah Indonesia, yakni di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah.
Para terdakwa dijerat Pasal 9 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mereka diancam hukuman rata-rata 15 tahun penjara. Hukuman paling berat, yakni hukuman mati, menanti Santhanam dan Ali Miftah. Jaksa menganggap keduanya sebagai dalang aksi teror.
NUR ALFIYAH