TEMPO.CO, Kupang - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur, Somie Pandie, meminta pemerintah daerah untuk segera menyelesaikan sengketa tanah di Bandara El Tari Kupang antara enam suku pemilik lahan dan TNI Angkatan Udara. “Kasus tersebut menyimpan bom waktu. Jangan menunggu jadi masalah seperti Mesuji dan Bima," kata Somie kepada wartawan, Selasa, 28 Februari 2012.
Warga enam suku Timor, yakni suku Banu, Lael, Sabaat, Tafoki, Takuba, dan suku Ome, terus menuntut agar tanah seluas 540 hektare yang digunakan membangun Bandara El Tari, Pangkalan Udara TNI-AU, dan lapangan golf, dikembalikan.
Upaya perebutan sudah dilakukan beberapa kali oleh enam suku tersebut dengan menduduki Bandara El Tari Kupang. Namun selalu dihalau oleh aparat TNI AU.
Somie menyesalkan sikap pemerintah dan TNI-AU yang tidak mengakui tanah tersebut milik enam suku itu. Meski TNI-AU sudah mengantongi sertifikat hak milik yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kupang tahun 1987, semua harus duduk bersama mencari solusi penyelesaian. "Saya khawatir masalah ini akan semakin besar jika dibiarkan berlarut," ujarnya.
Salah seorang kepala suku, Samuel Saba'at, mengatakan lahan seluas 540 hektare yang menjadi hak milik enam suku Timor telah dicaplok TNI-AU. Sertifikat tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional tanpa sepengetahuan para kepala suku adat. "Karena itu kami terus berupaya untuk merebutnya kembali," ucapnya.
Adapun Komandan Pangkalan Udara El Tari Kupang, Letkol Navigasi Joko Winarto, membantah telah mencaplok tanah warga. Sebab, sejak ditempati TNI-AU pada 1950, tidak pernah ada masalah.
Selain telah mengantongi sertifikat, TNI-AU juga telah mendapatkan izin penempatan dari Gubernur NTT maupun Menteri Dalam Negeri. Bahkan sampai tahun 1980, tidak ada klaim dari masyarakat yang menuntut ganti rugi. "Kami tidak mencaplok tanah suku karena kami hanya kelola tanah negara," katanya.
YOHANES SEO