TEMPO.CO, Jambi - Sekitar 1.500 petani dan masyarakat Desa Seyerang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjungjabung Barat, Jambi, sejak Rabu malam hingga sekarang, Sabtu, 24 Desember 2011, menduduki lahan sebagai bentuk upaya menuntut hak mereka. Pasalnya, lahan mereka seluas 7.224 hektare diduga diserobot PT Wirakarya Sakti (PT WKS) untuk dijadikan kawasan hutan tanaman industri sejak 2001.
"Kami tidak akan mundur selangkah pun hingga tuntutan warga dipenuhi pihak perusahaan. Kami selama ini cukup bersabar menanti niat baik perusahaan yang sebelumnya semena-mena menggusur lahan warga Senyerang," kata Tawab Ali, advokasi Persatuan Petani Jambi (PPJ), kepada Tempo, Sabtu, 24 Desember 2011.
Sejak awal, para warga Senyerang yang memperjuangkan hak mereka telah didampingi PPJ dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jambi. Pemerintah Provinsi Jambi sudah berupaya memfasilitasi untuk menyelesaikan kasus ini, namun selalu gagal. Lahan yang menjadi sengketa tersebut di antaranya di kanal 16 sampai kanal 19.
Menurut Tawab, sejak tiga hari lalu, akses ke kanal 19 sudah diputus. Tidak hanya itu, di kanal 19 juga sudah didirikan pos milik perusahaan. Petani dan warga hingga kemarin masih menduduki lahan di kanal 16.
Aparat keamanan dari Polres Tanjungjabung Barat dibantu anggota Brimob dan aparat keamanan perusahaan WKS berada di kanal 14, berjarak sekitar 500 meter dari basis warga. Aparat melakukan langkah persuasif untuk menghindari bentrokan dengan warga.
Menurut Tawab, aksi ini sebagai wujud protes kepada pemerintah yang dinilai sangat lamban menyelesaikan sengketa yang ada. Padahal perwakilan petani dan PPJ serta Pemerintah Kabupaten Tanjungjabung Barat sudah sama-sama menghadap Menteri Kehutanan di Jakarta. Namun hasilnya juga tidak menampakkan titik terang.
"Kemarin akan diselesaikan melalui dewan verifikasi nasional. Tapi sampai saat ini juga tidak pernah ada kabar kapan akan turun ke Jambi," katanya.
Tawab membantah jika dikatakan petani membawa senjata api jenis kecepek (rakitan) dan senjata tajam lainnya. "Isu itu terlalu dibesar-besarkan, sebagai unsur untuk menyalahi keberadaan petani," ujarnya.
Juru bicara Polda Jambi, Ajun Komisaris Besar Almansyah, kepada Tempo mengemukakan pihaknya menurunkan personel kepolisian dari Polres Tanjungjabung Barat dan anggota Brimob. Keberadaan petugas untuk sekadar berjaga-jaga, bukan untuk menakut-nakuti masyarakat.
Almansyah meminta masyarakat tidak melakukan tindak kekerasan. "Juga meminta pemerintah daerah dan pemerintah pusat secepatnya menyelesaikan permasalahan yang ada," katanya.
Sementara itu, Arif Munandar, Direktur Eksekutif WALHI Jambi, mengatakan aksi warga Senyerang ini dilakukan untuk yang ketiga kalinya dan sudah lama diperjuangkan. "Jadi tidak benar jika gerakan warga ini memanfaatkan kasus berdarah Mesuji, karena gerakan ini murni inisiatif warga Senyerang menuntut haknya sejak lama sebelum kasus Mesuji terjadi," ujar Arif.
Arif juga berharap aparat keamanan yang bertugas di lapangan tidak bertindak represif dan harus melindungi warga kini sedang menuntut haknya yang dirampas PT WKS.
Slamet, Kepala Bagian Sumber Daya Alam Pemerintah Kabupaten Tanjungjabung Barat, sebelumnya kepada wartawan, menyebutkan jika pihaknya telah mendapat kabar bahwa tim dari Dewan Verifikasi Nasional (DVN) sudah turun ke Senyerang. Namun dia sendiri ragu dengan informasi tersebut.
Alasannya, jika memang tim dari DVN pusat turun, mengapa tidak melakukan pemberitahuan. "Mereka itu kan gabungan dari pemerintah dan LSM. Hasil pertemuan di Jakarta mereka yang ditugaskan untuk menyelesaikan konflik tersebut," kata Slamet.
Edy Yanto, juru bicara PT WKS, mengakui jika ada pendudukan lahan oleh warga Senyerang. “Namun saya berharap teman-teman wartawan tidak memberitakan ini, karena kita takut akan berdampak hal-hal tak diinginkan,” kata Edy.
SYAIPUL BAKHORI