TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pangan dari Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa mengatakan krisis pangan yang terjadi mengarah pada bencana. "Krisis adalah riak kecil yang bisa menjadi gelombang dahsyat," ujarnya saat berbicara di seminar 'Untuk Indonesia Masa Depan' di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Rabu 21 Desember 2011.
Andreas mengatakan krisis pangan sudah mengkhawatirkan. Negara dengan garis pantai keempat terpanjang dunia, namun masih mengimpor garam dan ikan, menurutnya, amat memprihatinkan,
Krisis tersebut dicontohkannya dalam angka impor sayuran yang mencapai 51,62 persen. Angka tersebut amat mencengangkan untuk sebuah negara agraria. Banyak petani, kata Andreas, putus asa terhadap pekerjaannya.
"Di Brebes bawang merah dibuang ke jalan. Di Merapi, lahan sayuran terbengkalai," ujar Andreas. Hal itu disebutnya sebagai awal dari bencana pangan.
”Produk impor telah menyingkirkan kedaulatan pangan lokal di atas meja makan masyarakat,” kata Andreas. Dari sarapan hingga makan malam, makanan yang terhidang mayoritas diproduksi petani asing.
Wacana pangan lokal yang diteriakkan pemerintah makin vokal, namun menurut Andreas, penggerusan varian produk lokal marak terjadi. Jenis-jenis produk lokal seperti uwi, gembil, dan suweg berganti gandum. "Terbukti, impor gandum naik 100 persen dalam waktu 10 tahun," ujarnya.
Andreas mengatakan untuk menyelamatkan bangsa dari bencana pangan, pemerintah harus menegakkan kedaulatan petani. "Pemerintah harus menerjemahkan penegakan kedaulatan pangan dalam undang-undang dan kebijakan pertanian," ujarnya.
M. ANDI PERDANA