Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Blakblakan Liesbeth dan Perjuangannya untuk Rawagede

image-gnews
Liesbeth Zegveld. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Liesbeth Zegveld. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Iklan

TEMPO Interaktif, Amsterdam - September silam, pengadilan tingkat pertama di Den Haag, Rechtbank's-Gravenhage, memenangkan gugatan warga Rawagede. Bertindak sebagai pengacara penggugat, Liesbeth Zegveld sebenarnya mengaku kaget atas putusan itu. Dia berpendapat kontroversi soal Rawagede menyadarkan masyarakat Belanda bahwa kejahatan yang dilakukan moyangnya pada masa lalu masih berdampak pada rakyat Indonesia kini.

Tiga pekan setelah putusan itu jatuh, Tempo menemui Listbeh di kantornya, Bohler Advocaten, di tepi salah satu kanal utama Amsterdam. Bohler dikenal di Belanda sebagai biro hukum yang kerap menangani kasus hak asasi manusia.

Menurut perempuan pirang yang Jumat 9 Desember 2011 esok akan ke Balongsari atau Rawagede itu kepedulian Bohler terhadap hak asasi manusia membuatnya betah bekerja di tempat itu hingga kini, tahun keenamnya di sana.

Berikut kutipan wawancara dengan Zegveld:

Apa yang Anda pikirkan saat pengadilan memenangkan gugatan Rawagede?
Kami kaget karena sebetulnya kami kira tidak akan menang melawan argumen bahwa kasusnya kedaluwarsa. Kasus itu terjadi lebih dari 60 tahun lalu, dan kalau melihat teks hukum yang ada, gugatan hanya bisa dilakukan lima tahun setelah kejadian. Tapi saya sangat percaya pada kasus itu. Ada keyakinan moral yang kuat bahwa hak mereka (korban Rawagede) harus dibela.

(Dalam kasus Rawagede) pengadilan Den Haag menetapkan perkecualian demi alasan keadilan (for reasonable justice). Artinya, teks hukum dinilai hakim sebagai tidak adil, sehingga mereka membuat pengecualian terhadapnya. Pengadilan jarang memberi vonis seperti itu. Ini adalah kemenangan besar, secara legal dan moral. Saya percaya putusan itu adil.

Apa yang ada dalam benak Anda saat mendengar tentang kasus ini dari K.U.K.B. pada 2007?
Saya sendiri berpandangan kasus itu sudah kedaluwarsa. Kasusnya bagus, dalam arti pemerintah Belanda telah melakukan kejahatan yang seharusnya tak disembunyikan di balik karpet. Jadi saya pikir masalahnya lebih baik diselesaikan di luar pengadilan, korban bisa menegosiasikannya dengan pemerintah.

Saya kira pemerintah Belanda akan mengerti dan menyelesaikannya, tapi tidak. Mereka menolak proposal ganti rugi kami. Jadi saya bilang kami akan membawanya ke pengadilan. Kata mereka, silakan saja, tapi kasus itu sudah kedaluwarsa dan tak bakal menang di meja hijau.

Saat itu saya telah sangat terlibat dalam kasus itu dan secara pribadi berpikir para korban harus mendapatkan keadilan. Tapi pada awalnya saya tidak mengira kami akan sampai maju ke pengadilan, apalagi memenangi gugatannya.

Mengapa Anda memutuskan terlibat dalam kasus ini?
Saya memang berminat pada korban perang dan upaya gugatan mereka, yang biasanya sulit karena terbentur banyak batasan. Mereka biasanya diabaikan oleh elite politik. Tapi hak mereka harus dibela. Tidak banyak pengacara berminat menanganinya karena uang yang didapatkan dari kasus seperti ini sedikit (tertawa). Kebanyakan orang juga tidak punya cukup dana untuk mengajukan gugatan, tapi di Belanda, ada dana bantuan hukum dari pemerintah yang bisa dipakai, seperti untuk kasus Rawagede ini.

Apa pengaruh kasus ini terhadap masyarakat Belanda?
Di Belanda, ada kecenderungan melihat kasus masa lalu seperti Rawagede sebagai masalah abstrak pada masa yang telah lama berlalu di tempat yang sangat jauh. Kami tidak melihat para korban ataupun keluarganya, penderitaan mereka.. Kami bahkan tidak tahu ada keluarganya yang masih hidup dan menderita. Dibawanya kasus-kasus seperti ini membuat peristiwanya didiskusikan kembali, dimaknai dan "ditutup" dengan penyelesaian yang adil. Ini bukan tentang politik, tapi martabat manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi pemerintah Belanda sudah memberikan uang untuk Rawagede...
Saat itu pemerintah Belanda memutuskan memberikan dana besar bagi masyarakat Rawagede, 850 ribu euro. Kami berpendapat seharusnya mereka menjelaskan hubungan antara pemberian uang itu dan tanggung jawab negara terhadap kasus Rawagede. Menurut saya itu bisa sangat mudah dilakukan, misalnya dengan menempelkan plakat "untuk mengenang korban Rawagede" di sekolah atau rumah sakit yang bakal dibangun dengan uang tersebut. Tapi mereka menolak. Jadi uang itu disalurkan sebagai bantuan dana pembangunan, bukan karena mereka bertanggung jawab atas kerugian yang ditanggung para korban (atas pembantaian Rawagede).

Saya pikir korban Rawagede sebetulnya tak mengejar kemenangan di pengadilan. Mereka ingin pengakuan dan kompensasi secukupnya untuk mengganti kerugian mereka. Sebetulnya solusi yang kami tawarkan sangat mudah, tapi negara menolaknya, mungkin karena takut itu bakal jadi preseden sehingga korban kasus-kasus lain akan menuntut hal yang sama.

Bagaimana jumlah kompensasi bagi korban Rawagede akan dihitung?
Sejumlah ahli akan bertugas menghitungnya, ada biro khusus yang bertugas melakukannya. Tentu tidak mudah karena jangka waktunya 60 tahun lebih sejak kejadian. Potensi kerugian akan dihitung dengan mempertimbangkan bunga, inflasi, dan standar kehidupan di Indonesia. Jumlahnya mungkin tak mencapai jutaan euro.

Bagaimana Anda memandang kasus ini jika dibandingkan dengan kasus hak asasi manusia yang Anda tangani sebelumnya, misalnya Srebrenica?
Kasus Rawagede luar biasa karena negara tidak menyangkal kesalahan yang mereka lakukan. Jadi kedua belah pihak sepakat bahwa peristiwa itu terjadi. Biasanya pemerintah akan mempertahankan tindakannya sebisa mungkin, tapi itu tak terjadi di sini. Pemerintah sepertinya sangat berhati-hati dan sangat sopan dalam menyusun argumennya. Pertahanan mereka hanya bahwa gugatan itu kedaluwarsa.

Anggota Parlemen Belanda mempertanyakan sikap pemerintah seusai putusan itu, apakah akan berpengaruh terhadap perkembangan kasus tersebut?
Saya tak tahu persis, tapi sepertinya tidak. Perkembangan kasus tergantung pada langkah pemerintah, mau banding atau tidak, dan kalau tidak banding, apakah akan membayar pada penggugat saja atau semua korban dan penyintas Rawagede.

Korban Rawagede berencana menggugat pemerintah Belanda lagi dalam kasus penculikan, apakah Anda berpendapat bisa memenanginya juga?
Saya tidak bisa memperkirakannya. Tapi yang ingin kami dapatkan adalah apakah pemerintah bisa memberi informasi tentang nasib lima orang yang diculik itu. Informasi itu sangat penting bagi keluarga mereka. Sebab, untuk mereka, sangat menyedihkan jika kelima orang itu meninggal dunia tapi tak bisa dimakamkan dengan layak.

Apakah Anda berniat menangani gugatan tersebut?
Ya, karena itu terjadi di desa yang sama--ada penduduk yang dibunuh, ada yang diculik. Tak ada alasan untuk tak membela korban yang lain. Nasib mereka sama buruknya. Harus ada yang membela dan membantu mereka.

Akan maju juga untuk kasus Westerling?
Untuk yang itu, saya belum tahu.

Kabarnya Anda akan berkunjung ke Indonesia?
Ya, tanggal 6-11 Desember nanti. Saya akan ke Balongsari, bertemu warga Rawagede. Saya tidak sabar untuk pergi ke sana.

BUNGA MANGGIASIH

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Penelitian Buktikan Kekejaman Militer Belanda di Indonesia, PM Rutte Minta Maaf

18 Februari 2022

Seorang veteran melintasi Monumen Korban 40.000 jiwa usai upacara mengenang pembantaian 40.000 jiwa ke-68 di Makassar, 11 Desember 2014. Pembantaian 40.000 rakyat Indonesia tersebut terjadi pada 1946 oleh pasukan sekutu yang dipimpin Raymond Paul Pire Westerling di sebagian besar wilayah pesisir barat Sulawesi Selatan dan Barat meliputi Kotapraja, Afdeling, Bonthain (Bantaeng), Parepare dan Mandar, yang diperingati tiap 11 Desember.TEMPO/Fahmi Ali
Penelitian Buktikan Kekejaman Militer Belanda di Indonesia, PM Rutte Minta Maaf

PM Mark Rutte minta maaf kepada Indonesia setelah tinjauan sejarah menemukan militer Belanda menggunakan kekerasan berlebihan dalam Perang Kemerdekaan


5 Orang Indonesia Gugat Kejahatan Perang Belanda Selama Revolusi

2 Oktober 2019

Seorang Veteran perang berjalan melitasi dinding berisi nama-nama pahlawan yang telah gugur usai melakukan ziarah di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, 10 Agustus 2015. Ziarah ini bertujuan untuk mengingat kembali perjuangan para Veteran dan rekan-rekannya yang telah gugur dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia serta merupakan rangkaian dari Peringatan Hari Veteran. TEMPO/Dhemas Reviyanto
5 Orang Indonesia Gugat Kejahatan Perang Belanda Selama Revolusi

Pengadilan banding Den Haag menerima gugatan lima orang Indonesia atas kejahatan perang Belanda selama zaman revolusi kemerdekaan RI pada 1947.


Negosiasi Ganti Rugi Pembantaian Westerling Alot

10 Agustus 2013

Raymond Westerling.
Negosiasi Ganti Rugi Pembantaian Westerling Alot

Menurut Jeffry, kebuntuan yang terjadi pada bulan April tersebut berakhir karena itikad baik dari Menteri Luar Negeri Belanda Frans Timmermans.


Korban Agresi Militer Diajak Gugat Belanda  

16 Agustus 2012

Peristiwa pembantaian Rawagede. pierrescolumn.punt.nl
Korban Agresi Militer Diajak Gugat Belanda  

Meski sudah nyaris tujuh dekade berlalu, Komite Utang Kehormatan Belanda berpendapat Belanda tetap harus bertanggung jawab atas kejahatan perang.


Ternyata Sulit Mendata Ulang Korban Westerling

10 Desember 2011

Raymond Westerling.
Ternyata Sulit Mendata Ulang Korban Westerling

Baru delapan janda korban Westerling yang saya pegang, kami kesulitan melakukan pendataan, kata anggota pengurus KUKB, Ivonne.


Masih Ada 76 Kasus Kejahatan Perang Belanda di Indonesia  

10 Desember 2011

Raymond Westerling.
Masih Ada 76 Kasus Kejahatan Perang Belanda di Indonesia  

Di antara puluhan kasus itu, ada peristiwa Westerling.


Pemerintah Belanda Dinilai Berlama-lama Urus Rawagede

10 Desember 2011

Liesbeth Zegveld, Pengacara korban Rawa Gede, tersenyum saat peringatan Rawa Gede di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga, Karawang, Jawa Barat (9/10). Pemerintah Belanda diwakili Tjeerd de Zwaan, Dubes Belanda untuk RI, menyampaikan permintaan maaf dan memberikan kompensasi sebesar 20 ribu Euro/orang (Rp243 juta). TEMPO/Subekti
Pemerintah Belanda Dinilai Berlama-lama Urus Rawagede

Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia Batara Hutagalung menilai pemerintah Belanda sengaja berlama-lama mengurus gugatan warga Rawagede.


Marty Sambut Kedatangan De Zwaan di Rawagede

9 Desember 2011

Tjeerd Telco De Zwan. TEMPO/Subekti
Marty Sambut Kedatangan De Zwaan di Rawagede

Menurut Marty, peristiwa penting ini juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 1945.


Tragedi Rawagede, Seperti Apa Pembantaian Itu?

9 Desember 2011

Cawi binti Baisa berdoa di makam suaminya di taman makam pahlawan Rawagede, Jawa Barat. AP/Achmad Ibrahim
Tragedi Rawagede, Seperti Apa Pembantaian Itu?

Tragedi itu terjadi 64 tahun lalu. Tentara yang murka mengepung kampung dan membantai ratusan pria di Rawagede, Karawang. Seperti apa penyerbuan itu?


Di Rawagede, Pemerintah Belanda Minta Maaf

9 Desember 2011

Sejumlah janda korban peristiwa Rawa Gede. TEMPO/Subekti
Di Rawagede, Pemerintah Belanda Minta Maaf

Permintaan maaf, kata De Zwaan, bukan hanya mewakili pemerintah Belanda, tetapi juga seluruh rakyat Belanda kepada warga Rawagede.