TEMPO Interaktif, Balikpapan - LSM Telapak menyebutkan perusahaan kelapa sawit yang menyerobot 683 hektare lahan hutan adat Kutai Barat bermodalkan investasi asing dari Norwegia. Perusahaan dimaksud adalah PT Munte Waniq Jaya.
PT Munte kini sedang bersengketa tanah dengan suku Dayak Banuaq di Jempang Kutai Barat Kalimantan Timur. “Dana Norwegia hampir 99 persen besarannya, sisanya baru dimiliki Malaysia,” ungkap Sheila kepada Tempo, Senin 28 November 2011.
Telapak mengaku kecewa mengingat Norwegia terkenal sebagai salah satu Negara Eropa yang konsen masalah lingkungan. Negara ini juga paling serius menggalokasikan dananya untuk mengatasi permasalahan lingkungan di Indonesia.
Ahad kemarin, aktivis Telapak melakukan aksi teatrikal penghancuran hutan adat Muara Tae di depan patung Jenderal Besar Sudirman Jakarta. Dengan mengendarai sejumlah sepeda tua serta sebuah gerobak sepeda, belasan aktivis Telapak melakukan aksinya di jalur car-free day di Jakarta.
Kampung Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur adalah contoh nyata dari kawasan adat yang terancam oleh praktek penggundulan hutan oleh perusahaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Hingga akhir tahun 2011 ini, masyarakat Muara Tae tidak pernah merasakan manfaat hutan untuk rakyat yang menjadi tema Tahun Kehutanan Internasional.
Telapak menengarai kuatnya peran PT Munte yang hanya melibatkan sebagian warga dusun Lemponak dalam proses ganti rugi pengelolaan lahan adat setempat. Padahal dalam kawasan adat tersebut terdapat tiga dusun Suku Dayak Banuaq yaitu Lemponak, Muara Tae dan Kenyayan.
Sheila khawatir permasalahan tersebut bakal berdampak konflik panjan dalam perebutan area tanah adat Dayak Banuaq. Hingga kini belum ditentukan solusi penyelesaian permasalahan kasus penyerobotan tanah adat dayak untuk perluasan kebun sawit.
Sudah ada kesepakatan antara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehubungan pengelolaan kawasan adat. Dalam pencatatan sertifikasi pertanahan ada pengakuan terhadap kepemilikan tanah adat setempat.
Berdasar data Telapak, PT Munte telah mengancam kelestarian masyarakat Suku DayakBanuaq lewat upaya pecah belah untuk penguasaan lahan. Masyarakat Dayak berhak atas kepemilikan kawasan hutan adat di Jempang Kutai Barat yang totalnya mencapai 5 ribu hectare.
Sejak tahun 70 an kawasan hutan adat Dayak Banuaq sudah menjadi incaran perusahaan kayu, perkebunan hingga pertambangan batu bara. Sejumlah perusahaan terdapat disekitar kawasan tersebut yaitu PT Gunung Bayan Pratama Coal, PT Borneo Surya Mining Jaya, PT London Sumatra TBK, PT Kencana Wisto, dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa. Perusahaan perusahaan ini sudah menguasai 50 persen kawasan hutan adat Dayak Banuaq yang dahulu seluas 5 ribu hectare.
Penggusuran kawasan hutan adat dipastikan menyengsarakan sedikitnya 200 warga Dayak Banuaq yang sepenuhnya menggantungkan mata pencarian di hutan tersebut.
SG WIBISONO