TEMPO Interaktif, Semarang - Kasus kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah selama satu tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Berdasarkan dokumentasi Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) Jawa Tengah, sepanjang November 2010-Oktober 2011, tercatat 632 kasus dengan korban sebanyak 1.277 perempuan dan 34 di antaranya meninggal dunia.
"Padahal, pada 2009-2010 tercatat sebanyak 629 kasus dengan korban sebanyak 1.118 perempuan," kata Direktur LRC-KJHAM Evarisan dalam konferensi pers memperingati kampanye 16 hari anti-kekerasan terhadap perempuan, Jumat (25 November 2011). 16 hari anti-kekerasan itu mulai 25 November hingga 10 Desember.
Evarisan menyatakan rincian kasus kekerasan perempuan pada 2011 adalah 226 perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 139 perempuan menjadi korban kekerasan dalam pacaran (KDP), 171 perempuan menjadi korban perkosaan, 10 orang mengalami pelecehan seksual, 57 perempuan menjadi korban perdagangan manusia, 169 perempuan menjadi korban eksploitasi terhadap buruh migran, dan sebanyak 505 eksploitasi terhadap prostitute.
Menurut Evarisan, sepanjang 2011, kasus KDRT tertinggi dengan jumlah korban 10 perempuan meninggal dunia.
Berbagai bentuk kekerasannya adalah dimutilasi, ditebas dengan samurai, dicekik, disilet, dijerat dengan kabel kipas angin, ditusuk dengan belati, vagina disundut dengan rokok, dipukul bertubi-tubi pada bagian kepala dan wajah dengan tangan kosong pelaku, disiram air keras, hingga dibakar dengan api dan bensin.
Tak hanya kekerasan fisik yang melilit korban, akan tetapi korban mengalami kekerasan berlapis, kekerasan psikis, penelantaran dan kekerasan seksual. Misalnya, pelaku seorang suami berselingkuh, menjual seluruh aset bersama, tidak memberi nafkah, melakukan penelantaran, membebani utang hingga memaksa istri menjadi pekerja seks.
Evarisan menambahkan, pada tahun 2011 ini juga ditemukan kecenderungan pelaku KDRT yang memanfaatkan kuatnya relasi ibu dan anak, dan kerentanan anak untuk melakukan serangan terhadap perempuan secara psikologis dengan cara memisahkan ibu dan anak (22 kasus), membuang anak ke sungai, menganiaya anak, memanfaatkan anak agar perempuan tidak jadi menceraikan pelaku meskipun kekerasan terus dilakukannya, hingga membunuh anak.
Pada kasus Kekerasan dalam Pacaran (KDP), mereka menjadi korban bujuk rayu untuk melakukan hubungan seksual yang tak bertanggung jawab dan mengalami pengingkaran saat hamil, yang menyebabkan dua perempuan korban KDP meninggal dunia, di antaranya karena depresi atas kehamilannya sehingga memutuskan untuk bunuh diri dengan menenggak racun. Selain itu, ditemukannya dua kasus pengguguran kandungan dan 32 kasus pembunuhan dan pembuangan bayi dari hasil hubungan di luar nikah.
Sementara itu tidak ada kasus pelecehan seksual yang menempuh mekanisme hukum, namun sedikitnya tercatat lima kasus pelecehan seksual dengan 10 perempuan menjadi korban. Pada kasus perkosaan, dari 171 korban, tercatat 111 anak menjadi korban di usia 0-18 tahun, yang terjadi hampir di setiap keberadaan anak.
Tidak ada tempat yang aman bagi anak-anak perempuan. Mereka diperkosa di lingkungan bermain, di lingkungan sekolah, bahkan di dalam rumah mereka sendiri. Para pelaku adalah orang yang dekat dan sangat dikenal oleh korban, yakni ayah kandung, ayah tiri, guru olah raga, guru mengaji, tetangga, teman terdekatnya hingga perangkat desa dan kecamatan.
LRC-KJHAM mendesak pemerintah pusat segera mencabut semua kebijakan dan peraturan perundangan nasional dan daerah yang mendiskriminasikan dan melahirkan kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang diperintahkan Komite CEDAW PBB kepada Pemerintah Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selain itu, segera mengambil kebijakan yang kuat dan terukur untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan Pemberdayaan Perempuan di tingkat nasional hingga daerah. Pelaksanaannya dengan memberikan kewenangan, alokasi anggaran, sumber daya manusia serta sarana kelembagaan yang memadai untuk dapat bekerja secara efektif memimpin upaya nasional dan daerah menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Kepala Badan Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Jawa Tengah Soelaimah mengakui kasus kekerasan terhadap perempuan masih akan terus meningkat. Ia menyatakan kasus kekerasan di 35 kabupaten/kota selama 2010 mencapai 2.829, sedangkan selama semester I tahun 2011 tercatat 1.234 kasus. Sementara yang ditangani pusat pelayanan terpadu (PPT) yang merupakan rujukan dari daerah serta antar provinsi mencapai 373 kasus di tahun 2010 dan 768 kasus hingga Oktober 2011.
Soelaimah mengatakan pihaknya melakukan kerja sama dengan Eijkman terkait analisis DNA korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terutama kekerasan seksual, perdagangan orang. Eijkman akan memfasilitasi sepenuhnya analisis DNA bagi korban, pelaku perkosaan, anak korban tindak pidana perdagangan orang, anak korban penculikan dan adopsi ilegal serta individu lain yang terlibat.
Sementara untuk kasus di luar ruang lingkup di atas, Pemerintah Jawa Tengah membiayai 60 persen dan Eijkman 40 persen dari Rp 2,5 juta untuk setiap sampel yang dibutuhkan.
ROFIUDDIN