TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J. Kristiadi, menilai rencana partai besar meningkatkan angka ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tidak efektif dalam memperbaiki sistem kepartaian. Ketimbang memperdebatkan upaya penyederhanaan, partai politik seharusnya fokus pada perbaikan internal.
"Inti dari penyederhanaan partai itu bukan jumlah, tapi perbaikan kualitas partai politik," ujar Kristiadi saat dihubungi di Jakarta, Selasa 15 November 2011.
Menurut Kristiadi, yang diperlukan parlemen Indonesia saat ini adalah penguatan institusi parlemen. Caranya dengan memperbaiki pola rekrutmen dan kaderisasi. Sedangkan parliamentary threshold hanyalah formula yang disepakati antarpartai. "Instrumen yang bijak adalah membuka kompetisi yang lebih terbuka untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik," ujar dia.
Dia menyayangkan sikap partai besar yang terkesan lebih mengedepankan kekuasaan untuk duduk di parlemen. Seharusnya partai politik lebih mengutamakan instrumen perbaikan institusi. "Kalau institusinya lemah, penyederhanaan partai melalui PT hanya akan mempercepat dinasti oligarki."
Kristiadi tidak terlalu sepakat soal anggapan bahwa partai yang banyak tidak cocok dalam sistem presidensial. Untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif, hal utama yang harus dibangun adalah penguatan komitmen politik.
Golkar dan PDI Perjuangan mengusulkan angka 5 persen dalam pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum di DPR. Partai Demokrat dan pemerintah menginginkan 4 persen. Adapun enam partai lain di DPR menginginkan maksimal 3 persen, yakni PPP, PKB, PKS, PAN, Partai Hanura, dan Partai Gerindra.
Kristiadi mengusulkan angka batas parlemen tetap 2,5 persen demi keterwakilan masyarakat Indonesia yang beragam. "Sampai lima tahun ke depan tetap dulu pada 2,5 persen, setelah itu baru dirumuskan ulang," katanya.
IRA GUSLINA