TEMPO Interaktif, Bandar Lampung - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjungkarang, Bandar Lampung, memvonis Haidir, terdakwa korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah Rp 35 juta dengan penjara satu tahun empat bulan dan denda Rp 200 juta, Jumat, 4 November 2011. Vonis itu membuat mantan Kepala Sekolah Dasar Brathayuda, Blambangan Umpu, Way Kanan itu terkejut.
“Saya tidak akan banding meskipun putusan majelis hakim terasa tidak adil,” kata Haidir seusai mendegarkan putusan hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Jumat, 4 November 2011.
Hakim Tipikor yang diketuai Ida Ratnawati menjatuhkan hukuman lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut 2 tahun dan denda Rp 200 juta. Terdakwa dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan cara menyelewengkan dana BOS mulai tahun 2005 hingga 2010.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah merugikan negara Rp 35 juta,” kata Ida Ratnawati yang beberapa pekan lalu membebaskan Bupati Lampung Timur Satono, terdakwa korupsi Rp 119 milyar itu.
Majelis hakim yang terdiri dari Ida Ratnawati, Sri Suharini, dan Surisno itu menilai, Haidir menyelewengkan dana BOS untuk SD Brathayuda, Blambangan Umpu, Way Kanan. Terdakwa mengalihkan sebagian dana BOS itu untuk membiayai berbagai kegiatan sekolah, seperti kemah, lomba olahraga, dan menyambut kunjungan pejabat.
“Dia sangat jujur. Semua administrasi itu dicatat secara rinci kemana dana itu digunakan. Terdakwa tidak tahu kalau itu menyalahi aturan penggunaan dana BOS,” kata Eka Hamdani, kuasa hukum terdakwa.
Selain dituding menilep dana BOS, Haidir juga didakwa menyalahgunakan wewenang dengan memotong gaji ke-13 milik tujuh orang guru di SD Brathayuda. Masing-masing sebesar Rp 60 ribu. “Semuanya untuk menutupi kegiatan sekolah. Dana BOS sering terlambat sehingga sebagai kepala sekolah, terdakwa harus kreatif mencari sumber dana untuk menutupi biaya kegiatan belajar-mengajar,” ujarnya.
Eka mengaku heran dengan vonis hakim yang dinilai janggal itu. Dia mengaku hukuman yang dijatuhkan majelis hakim terlalu berat karena di persidangan tidak ditemukan kerugian negara. “Semua penggunaan dana Rp 35 juta itu ada rincian laporan dan bukti pembayaran. Terdakwa tidak memperkaya diri sendiri,” katanya.
Dia menilai denda sebesar Rp 200 juta subsider satu bulan penjara tidak sebanding dengan kerugian negara yang didakwakan jaksa penuntut umum. “Tapi kami tidak bisa berbuat banyak karena terdakwa menerima putusan itu dan tidak mau mengajukan banding,” katanya.
Haidir, 50 tahun, yang telah semperempat abad menjadi guru itu pun berkomentar pendek. “Biar saja. Demi ketenangan orang Way Kanan,” kata dia berlinang air mata sambil mengaku menjadi korban politik karena dia berkirim pesan pendek bernada menyindir kepada calon bupati yang memenangkan pemilihan kepala daerah setempat.
NURROHMAN ARRAZIE