TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin meralat aturan Direktorat Jenderal Permasyarakatan yang melarang wartawan melakukan tugas jurnalistik di kompleks penjara. “Semua harus berjalan bersama-sama. Dilonggarkan, tapi tetap dalam nuansa ketertiban,” kata Amir di kantornya, Rabu 26 Oktober 2011.
Meski begitu, Amir melanjutkan, aturan yang permisif terhadap wartawan masih harus dikaji lebih mendalam oleh pihaknya. “Kami akan kaji sebaik-baiknya, karena hal itu (reportase penjara) tidak bisa dipisahkan dengan fungsi kontrol sosial pers,” ujarnya.
Amir menilai, pers justru dibutuhkan untuk menginformasikan berbagai hal yang terjadi di penjara, termasuk kemajuan pengelolaan penjara yang dilakukan pihaknya. Ia sendiri memandang, selama ini perkembangan positif tentang penjara masih belum tersentuh publikasi.
“Karena pemberitaan yang muncul itu lebih banyak yang negatif. Masyarakat tidak tahu bahwa sebetulnya di lembaga permasyarakatan kami sedang melakukan langkah penertiban. Tapi selama ini mereka (pegawa lapas) enggan memberitahukan (perkembangan ke media),” kata Amir.
Sebelumnya, bekas Menkumham Patrialis Akbar sempat menuai kritik lantaran saat masa kepemimpinannya, Ditjen Permasyarakatan mengeluarkan ketentuan wartawan dilarang meliput penjara. Jika wartawan nekat melakukan peliputan di area itu, harus seizin Ditjen Permasyarakatan.
Aturan itu keluar menyusul adanya media yang melakukan wawancara tapi tidak dengan norma. Dikhawatirkan, akan ada pemberitaan yang mencitrakan lembaga permasyarakatan sebagai sarang narkoba, seperti dilakukan sejumlah media beberapa waktu lalu.
Patrialis menilai, izin dari Ditjen Permasyarakatan penting dimiliki wartawan. Sebab, dengan begitu, pihaknya bisa mengetahui kepentingan wartawan meliput di penjara. Selain itu, dengan mengantongi izin dari Ditjen Pas, wartawan yang berkepentingan dinilai bisa membuat penjaga lapas "tenang" karena aman dari tuduhan kongkalikong dengan pihak luar.
ISMA SAVITRI