TEMPO Interaktif, Jakarta - Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berserikat mendesak agar Undang-Undang Organisasi Masyarakat (Ormas) segera dihapuskan. Pasalnya, undang-undang tersebut dinilai sudah tidak relevan dan tidak menjamin adanya kepastian hukum terhadap tindakan yang dilakukan ormas.
Koalisi terdiri dari organisasi nonpemerintah seperti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi.
Direktur PSHK, Eryanto Nugroho, menyatakan bentuk ormas tidak dikenal dalam kerangka hukum di Indonesia. "UU Ormas justru memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang," ujar Eryanto dalam diskusi peran masyarakat sipil di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Kamis, 20 Oktober 2011.
Menurut Eryanto, ormas sendiri merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan mengontrol dinamika organisasi masyarakat. UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas dinilai sebagai UU yang dipaksakan karena kebutuhan Orde Baru untuk melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis dalam satu wadah yang sah sehingga mudah dikontrol. "UU Ormas ini jelas salah kaprah dan salah arah sehingga harus dicabut, bukan direvisi," ujarnya.
Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat tengah merampungkan revisi UU Ormas ini. Koalisi mendesak DPR menghentikan proses revisi dan mencabut UU tersebut. Sebagai gantinya, koalisi merekomendasikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat dikembalikan saja pada kerangka hukum yang sudah ada. "Pengaturan ormas sendiri sudah ada badan hukum yayasan untuk organisasi sosial tanpa anggota dan badan hukum perkumpulan untuk organisasi sosial dengan anggota."
Koalisi juga mendorong pemerintah dan DPR segera perampungkan pembahasan RUU Perkumpulan yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas 2010-2014. Saat ini draft RUU itu masih disiapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. RUU ini, menurut Eryanto, lebih relevan dalam mengatur organisasi masyarakat karena akan mengatur soal pendirian, keanggotaan, transparansi dan akuntabilitas yang mengatur dan memberi jaminan kebebasan berserikat bagi perkumpulan yang berbadan hukum dan tidak.
Terkait rentetan kekerasan yang dilakukan ormas, menurut dia, sudah diatur dengan tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP sudah mengatur untuk menjerat pelaku yang turut serta memerintahkan tindak kejahatan, permusuhan, dan kebencian terhadap golongan tertentu secara terbuka di muka umum. "Jadi, pengusulan revisi UU Ormas sudah tidak relevan untuk memadamkan persoalan," dia melanjutkan.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshidiqie, juga menilai revisi UU Ormas bukanlah hal yang utama. Bahkan, dia sepakat agar UU ini dicabut saja. Menurut Jimly, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah penataan kelembagaan. Selain itu, setiap kelompok masyarakat sipil harus memiliki status kelembagaan hukum. "Ini perlu untuk memberikan kemudahan dalam lalu lintas hukum," ujar Jimly.
Sebelum membuat undang-undang tentang kelembagaan, menurut Jimly, pemerintah terlebih dahulu memetakan setiap organisasi sipil yang ada berdasarkan fungsi dan strukturnya. "Harus dibedakan kategorinya berdasarkan urutan logis supaya organisasi bisa diletakkan dalam konteks hukum."
IRA GUSLINA