TEMPO Interaktif, Jakarta - Banyaknya kasus hukum yang melibatkan politikus, baik di pusat maupun daerah, membuat citra dan kepercayaan masyarakat terhadap politikus merosot. Penelitian Lingkaran Survey Indonesia (LSI) menunjukkan dibanding 2005, kepercayaan masyarakat kepada politikus menurun hingga 21 persen. "Bahkan banyak responden menyatakan politisi saat ini lebih buruk dibandingkan politisi era Orde Baru," ujar peneliti muda LSI, Ardian Sopa, Ahad, 2 Oktober 2011.
Dari penelitian yang dilakukan 5 hingga 10 September 2011, terhadap 1.200 responden di seluruh Indonesia, LSI memperoleh hanya 23,4 persen responden menganggap positif citra politikus. Sedangkan 51,3 persen menilai kinerja politikus sangat buruk dan buruk. Sisanya 25,3 persen tidak memberikan pendapat. Padahal, kata Ardian, pada 2005, LSI pernah melakukan penelitian yang sama dan hasilnya terdapat 44,2 persen responden yang menilai kinerja politikus masih relatif baik.
Selain itu, LSI juga menemukan lebih banyak responden yang menyatakan kualitas politikus saat ini lebih buruk dibandingkan politikus era Orde Baru. Hanya ada 12,9 responden yang menyatakan politikus sekarang lebih baik dari era Orde Baru. Sedangkan 31,9 responden menilai politikus era Orde Baru lebih baik dari sekarang.
Penelitian yang dilakukan LSI menjaring opini masyarakat soal kinerja politikus ini menggunakan metode kuantitatif dengan pemilihan sampel acak. Penelitian lima hari ini memiliki tingkat kesalahan 2,9 persen. Selain itu, hasil yang diperoleh juga dikuatkan dengan penelitian kualitatif menggunakan lebih dari 100 responden yang terdiri dari politikus, akademisi, dan praktisi media.
Menurut Ardian, ada tiga hal dasar yang menyebabkan turunnya citra politikus di mata publik. "Yang paling mempengaruhi opini publik adalah banyaknya politisi yang terjaring kasus korupsi dalam enam tahun terakhir," ujarnya.
Dari politik daerah, misalnya, sebanyak 125 kepala daerah yang menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana masalah korupsi. Di tingkat politik pusat, sebanyak 19 anggota dan bekas anggota DPR sudah ditahan dalam kasus cek pelawat Miranda Goeltom. "Wakil rakyat ini dianggap melakukan korupsi berjamaah dan berkomplot bersama-sama." Ditambah lagi adanya sejumlah oknum dari Badan Anggaran yang proses hukumnya sedang dilakukan KPK.
Selain itu, di tingkat kementerian, beberapa mantan menteri sudah dipenjara dalam enam tahun terakhir, seperti bekas Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dan bekas Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri. Beberapa menteri era SBY pun kini tengah dalam proses penyidikan, seperti bekas Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra. "Bahkan kini KPK juga mulai mengusut kementerian yang dipimpin Andi Mallarangeng dan Muhaimin Iskandar."
Menurut Ardian, jumlah politikus yang terjerat korupsi enam tahun terakhir adalah yang terbesar dalam sejarah Indonesia. "Pemberitaan media yang bertubi-tubi dan jumlah yang fantastis dari politisi korup yang diproses hukum membuat citra politisi di mata publik merosot jauh," ujarnya.
Alasan kedua yaitu munculnya pemain baru yang "powerfull" dalam mafia jaringan korupsi di DPR. Menurut Adrian, LSI menyimpulkan dua kasus korupsi di Kemenpora dan Kemenakertrans menunjukkan adanya oknum lintas partai yang memainkan anggaran di tingkat Badan Anggaran DPR.
Yang membuat marah publik bukan saja karena kejahatan itu mengambil uang rakyat, tetapi karena dikerjakan secara bersama-sama di antara politikus lintas partai. "Politisi lintas partai ini terkesan tak peduli lagi dengan efek korupsi," ujar Adrian.
Dalam enam tahun terakhir, LSI menilai persekongkolan di Banggar dilakukan lebih terbuka dan melibatkan banyak orang. Seolah politikus tak lagi khawatir semakin banyak orang yang dilibatkan maka makin banyak yang berkicau. "Mereka begitu percaya diri dan seolah terlindungi."
Alasan ketiga memburuknya citra politikus di mata publik, menurut LSI, karena perkembangan media sosial. Setiap isu buruk yang berkembang mengenai politikus, termasuk oknum di Badan Anggaran, segera mendapat tanggapan dari publik. "Dengan mudah, isu buruk politisi meluas dan menyebar tanpa disensor oleh siapa pun." Ini membantu menurunnya persepsi positif terhadap politikus secara masif dan cepat.
Terhadap hasil survei ini, LSI mengeluarkan dua rekomendasi. Pertama, mendesak diterapkan hukuman yang keras dan konsisten untuk menimbulkan efek jera bagi politikus yang menyimpang. "Saatnya kelompok antikorupsi menyatukan diri di belakang KPK," ujar Adrian. Dia menyebut oknum lintas partai yang bermain di Banggar harus dihukum dan dibongkar sampai akarnya.
Kedua, LSI meminta pola rekrutmen posisi politik lebih diperketat di semua lapisan dalam menjaring calon politikus. Baik untuk calon kepala daerah, calon anggota DPR dan DPRD, calon pimpinan politik, hingga calon presiden. "Partai harus lebih selektif memilih wakil yang teruji integritasnya untuk duduk di Banggar."
Menurut Ardian, mewujudkan pemerintah dan politikus yang baik, harus segera dilakukan untuk mencapai pemerintahan yang bersih. "Citra positif politisi di mata pemilih dengan hanya 23,4 persen sudah berada di titik nadir dan ini harus segera diperbaiki," lanjut Ardian.
IRA GUSLINA