TEMPO Interaktif, Sleman - Diplomat muda dari tujuh negara belajar memasak dan membuat sambal lotis atau rujak. Mereka tidak belajar di dapur yang mewah, melainkan di dapur milik warga yang sangat sederhana tapi bersih.
Tujuh diplomat muda dari Jepang, Ekuador, Kamboja, Laos, Myanmar, Polandia, dan Fiji tersebut mengikuti program The Promotion of Indonesian Language for Foreign Diplomats selama tujuh minggu di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain belajar bahasa, mereka juga berinteraksi sosial langsung dengan penduduk setempat.
"Sangat istimewa, sangat berbeda dengan kehidupan di negara saya. Masakan tradisionalnya juga sangat berbeda," kata Jan Pawel Wojcik, diplomat muda asal Polandia, saat ditemui di desa wisata Sambi, Pakembinangun, Pakem, Sleman, Minggu 11 September 2011.
Saat ditemui dia tengah membuat sambal lotis. Ia merasa sangat istimewa di tengah kehidupan warga. Selain bisa mempraktekkan bahasa Indonesia yang sama sekali belum pernah ia pelajari sebelumnya, ia juga banyak belajar seni dan juga memasak.
Jan membuat sambal lotis dengan bahan cabai, gula merah, asem, dan bumbu lainnya, lalu diulek pada cobek. Menurut dia hal itu sangat menyenangkan. Lotis dikenal di daerah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sekitarnya. Di daerah lain jenis makanan ini biasanya disebut rujak.
Yang tak kalah menarik saat Jan pertama kali melihat gudeg, ia mengira itu daging sapi. Ternyata, saat dimakan, ia keheranan kenapa rasanya manis dan gurih. Ternyata setelah diberi tahu itu dari nangka muda, bukan daging sapi, ia takjub dan menghabiskan satu piring gudeg. "Rasanya manis, gurih, dan ada sambalnya," kata dia yang sudah lancar berbahasa Indonesia meski baru belajar tujuh minggu.
Menurut Swanny Hartono, Manajer Alam Bahasa Yogyakarta, para diplomat muda itu diberi jadwal padat untuk belajar bahasa Indonesia dan semua hal tentang Indonesia. Mereka mendapatkan teori di kelas, tapi porsinya lebih sedikit dibandingkan dengan praktek berbicara bahasa Indonesia di perkampungan dan dengan orang asli Indonesia. "Mereka juga belajar seni tari, gamelan, dan memasak," kata Swanny.
Interaksi sosial, kata dia, bagi orang asing yang belajar bahasa Indonesia sangat membantu mempermudah belajar, sehingga pelajaran teori lebih sedikit dibandingkan prakteknya. Maka dalam tujuh minggu belajar bahasa Indonesia mereka sudah bisa lancar bicara meski sebelumnya belum pernah belajar bahasa Indonesia.
Menurut Haryono, Ketua Pengelola Desa Wisata Sambi, warga negara lain yang datang di desanya sebelum 2002 tidak terkoordinasi. Padahal sering sekali mereka datang melihat potensi budaya, pertanian, dan adat sehari-hari warga. "Setelah itu kami bertekad membuat desa kami menjadi desa wisata dengan mengeksplorasi potensi yang memang sudah ada sejak dulu," kata dia.
MUH SYAIFULLAH