TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami kelebihan 2.500 pegawai negeri sipil. Dengan usia rata-rata di atas 40 tahun, kinerja mereka dianggap tak bagus lagi.
Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Istimewa Yogyakarta Ichsanuri menilai kerja mereka di kantor tak lagi produktif lagi. “Udad-udud (merokok), moco koran (baca koran),” kata dia di ruangannya, Kamis, 8 September 2011.
Saat ini ada 7.600 pegawai negeri sipil di lingkungan Pemprov DIY. Kelebihan pegawai terjadi merata di hampir semua bagian pemerintahan. Selain kebanyakan para pegawai yang dianggap tak lagi produktif lantaran sudah berusia tua, ada juga yang masih berusia muda.
Namun, lanjut Ichsanuri, kinerja tiap pegawai tetap berbeda. Ada yang berkembang positif atau bahkan ada yang anjlok negatif. “Wes ruwet meh ngandani (sudah ruwet mau mengingatkan),” kata dia menyesalkan perihal pegawai yang tak produktif.
Dia mengatakan cukup senang adanya moratorium (penghentian sementara) penerimaan calon pegawai negeri sipil. Harapannya, moratorium bisa menyelesaikan beban kelebihan pegawai dan memperbaiki kinerja pemerintahan.
Ditetapkan dalam surat keputusan bersama Tiga Menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, moratorium berlangsung sejak 1 September 2011 hingga 16 bulan mendatang. Moratorium dimaksudkan agar distribusi pegawai merata. Daerah yang kelebihan pegawai bisa memindahkannya ke daerah lain yang masih kekurangan.
Sayangnya, kelebihan pegawai di Yogyakarta didominasi oleh pegawai yang telah berusia tua sehingga tak bisa dipindahkan ke luar daerah. Salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kelebihan pegawai adalah dengan cara natural, yakni menunggu hingga mereka pensiun.
Di sisi lain, kata Ichsanuri, Pemprov DIY pun mengalami kekurangan PNS hingga mencapai 1000 orang. Kekurangan itu untuk menutup kebutuhan tenaga pendidikan semisal guru sekolah luar biasa, serta tenaga kesehatan, semisal dokter.
Tak menutup kemungkinan, untuk menutup kekurangan itu, pemerintah menerima pegawai pindahan dari daerah lain. Namun, agar efektif, pemerintah akan menseleksi secara ketat. “Pokoknya 1000 itu yang pinter-pinter, masih muda, dan prospektif,” kata dia.
Sementara itu, sepengamatan Tempo, suasana perkantoran pemerintah memang tak sesibuk kantor swasta. Kebanyakan para pegawai terlihat lebih santai bekerja. Kondisi itu terjadi hampir seluruh bagian, baik pegawai yang bertugas di kantor yang berurusan melayani masyarakat secara langsung atau tidak.
Pakar politik pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, IGN AA Ari Dwaipayana, menilai ada fungsi pengawasan yang berjalan tak maksimal sehingga para pegawai tak efektif bekerja. Pegawai yang disiplin dan bekerja secara baik seharusnya mendapat apresiasi dan penghargaan. Begitu juga sebaliknya, pegawai yang tak disiplin dan kinerjanya buruk harus diberi hukuman. “Harus ada reward and punisment,” kata dia.
Harus diakui, lanjut dia, reformasi sistem birokrasi memang belum berjalan maksimal. Struktur pemerintahan saat ini cukup banyak, tetapi minim fungsi. Padahal semestinya, struktur pemerintahan harus ramping dan memiliki banyak fungsi. “Miskin struktur, tapi kaya fungsi,” saran dia.
Kondisi itulah yang mendorong adanya sejumlah kantor dinas mengalami suprplus pegawai. Sementara, banyaknya pegawai itu tak banyak memiliki fungsi kerja.
ANANG ZAKARIA