TEMPO Interaktif, Jakarta - Langkah Mahkamah Agung (MA) melaporkan Wakil Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki ke Markas Besar Kepolisian RI dinilai berlebihan. Sebab, seharusnya Mahkamah terbuka terhadap kritik dan menggunakannya untuk memperbaiki diri.
"MA ini sifatnya jadi ultradefensif, sama saja dengan membungkam kritik," ujar pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, di sela "Simposium Internasional Negara Demokrasi Konstitusional" di Hotel Shangri-la, Selasa 12 Juli 2011.
Menurut dia, kasus hukum itu juga merupakan buntut ketegangan antarkedua lembaga tersebut, yang belum juga reda hingga saat ini. "Mereka belum mengambil langkah komunikasi yang dapat menyelesaikan persoalan ini," tuturnya.
Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Benny Kabur Harman berpendapat berbeda. Ia menilai tindakan Mahkamah itu dampak dari kebiasaan Komisi Yudisial memberi pernyataan saat penyidikan pelanggaran kode etik hakim belum usai. "Jangan seolah ngomong di koran itu hebat. Kalau enggak ngomong, kinerjanya enggak bagus," ucapnya.
Bagaimana pun, kata Benny, jika alat bukti tak cukup, kepolisian tidak perlu menindaklanjuti laporan MA itu.
Kemarin, Senin, 11 Juli 2011, Suparman dilaporkan karena menyatakan ada dugaan praktek jual-beli jabatan di tubuh Mahkamah. Untuk menjadi seorang hakim diharuskan membayar sekitar Rp 300 juta. Sedangkan untuk menjadi ketua pengadilan negeri di Jakarta diharuskan membayar hingga Rp 275 juta.
Mahkamah menilai apa yang dikatakan Suparman tidak benar dan berpotensi memojokkan institusi peradilan itu sebagai lembaga kekuasaan hukum negara. Suparman dituduh melanggar Pasal 207, 310, 311, 317, 318 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pencemaran nama baik, penghinaan terhadap kekuasaan lembaga negara, fitnah, hingga pengaduan yang tidak diproses secara prosedural, tapi langsung dikemukakan di depan publik.
Mahkamah mengklaim telah mengajukan somasi kepada Suparman 2 pekan sebelumnya, tapi tidak digubris.
BUNGA MANGGIASIH