TEMPO Interaktif, Mataram - Kementerian Kehutanan bekerja-sama dengan kelompok-kelompok sipil Indonesia dan internasional menggelar Konferensi Internasional Tenurial Hutan, Tata Pemerintahan dan Tata Wirausaha Kehutahan. Konferensi yang berlangsung 11-15 Juli 2011 di Senggigi, Lombok, itu dihadiri sekitar 15 negara dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
"Konferensi ini hal penting dalam sejarah karena untuk pertama kalinya Kementerian Kehutanan bersama kelompok-kelompok sipil mengakui adanya masalah kepemilikan hutan, terutama di Indonesia, dan duduk bersama membahasnya,” kata Asep Yunan Firdaus, Koordinator Media Kelompok Sipil Konferensi Tenurial, Senin, 11 Juli 2011.
Konferensi ini akan membahas lima masalah utama kehutanan saat ini, yaitu konflik antara pemerintah, masyarakat lokal, dan industri terkait kehutanan; terbatasnya akses pengelolaan hutan ke masyarakat; tuntutan reformasi di lembaga kehutanan/ Kementerian Kehutanan; kepastian hukum atas kawasan hutan; dan reformasi Undang-undang Agraria dan Sumber Daya Alam.
Hedar Laudjeng dari Dewan Kehutanan Nasional Bagian Masyarakat menyatakan semua konflik antara pemerintah, industri, dan masyarakat di Indonesia terkait kehutanan, terutama berakar pada perundang-undangan yang belum jelas. Undang-undang Kehutanan di Indonesia, menurut dia, masih bias dengan hukum kolonial sehingga tidak ramah terhadap masyarakat setempat. Akibatnya, potensi konflik masyarakat dengan pemerintah dan industri sangat tinggi.
Hedar menyimpulkan tata batas hukum kehutanan Indonesia yang belum jelas juga menjadi masalah. Saat ini, baru sekitar 14 juta hektare hutan yang selesai diakui secara hukum dalam tata batas kehutanan atau hanya 10,5 persen dari total luas kawasan kehutanan. ”Karena itu, konferensi ini adalah kesempatan bagi semua pihak mendengarkan semua masalah yang ada dan bertukar pikiran bagaimana menyelesaikannya,” katanya.
SUPRIYANTHO KHAFID