TEMPO Interaktif, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih menimbang sejumlah opsi dalam kemungkinan menaikkan harga bahan bakar minyak. Subsidi pemerintah mengalami pembengkakan dengan jumlah penggunaan BBM melebihi target yang ditetapkan. "Pada tingkat saya, diambil setelah pertimbangan semua aspek, bukan ekonomi semata," kata Yudhoyono dalam pidato pembuka rapat kabinet terbatas di Gedung Sekretaris Negara, Rabu, 6 Juli 2011.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan realisasi volume bahan bakar bersubsidi bakal naik menjadi 38,9-40,5 juta kiloliter dari angka yang ditetapkan 38,6 juta kiloliter. Tambahan kuota ini menyebabkan subsidi membengkak menjadi Rp 120,8 triliun dari Rp 95,9 triliun.
Selama semester pertama tahun ini, realisasi subsidi bahan bakar mencapai Rp 41,6 triliun dari pagu. Angka ini bakal bertambah menjadi Rp 79,2 triliun pada semester kedua.
Menurut Agus, tingginya belanja subsidi ini antara lain dipengaruhi oleh tingginya harga minyak Indonesia (ICP). Hingga 31 Mei 2011, harga ICP sudah mencapai US$ 110,4 per barel dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 82,2 per barel. Selain lonjakan harga minyak, tingginya subsidi bahan bakar didorong oleh peningkatan volume. Sampai Mei lalu, realisasi volume bahan bakar mencapai 16,5 juta kiloliter atau 42,8 persen dari pagu anggaran.
Presiden mengaku ikut menyimak wacana pada tingkat publik berkaitan dengan subsidi yang dikaitkan dengan harga BBM dan argumentasinya. Ia mencontohkan ada yang berpendapat belum tepat menaikkan BBM karena memacu inflasi dan laju pengurangan kemiskinan. Juga ada argumen lain dapat menaikkan dalam jumlah tertentu untuk menyelamatkan anggaran. "Saya hargai dan saya senang diskusi makin berkualitas karena makin rasional dari pandangan yang ada, meskipun berbeda satu sama lain," kata SBY.
Dalam kesempatan itu, Yudhoyono meminta semua menteri dan pejabat memahami dinamika dan perkembangan ekonomi global. Misalnya, menyimak apa yang terjadi di Eropa, yang belum sepenuhnya bisa keluar dari resesi 2008-2009, dan tentu ada implikasinya bagi perekonomian global.
Selain itu, Amerika Serikat masih menghadapi tantangan pengangguran 9,1 persen, jauh di atas pengangguran Indonesia. Di Asia, kata dia, masih ada bayang-bayang inflasi yang menghantui: India, Vietnam, Tiongkok, dan Indonesia. Kondisi pangan dunia pun, kata SBY, ada permasalahan baru dengan adanya kekeringan yang luas di Afrika. Tentu akan mengalirkan sumber pangan ke tempat itu dan bisa mengganggu suplai pangan secara global. "Ini tidak baik bagi stabilitas harga pangan pada tingkat dunia," katanya.
Ia juga mengungkapkan perkembangan ekonomi nasional. BPS mencatat pengangguran cenderung turun dan kemiskinan juga cenderung turun. "Yang mencatat BPS, bukan saya. Jadi. ukurannya pasti. Dari sisi pertumbuhan berjalan sesuai rencana," ujarnya.
Dia mengungkapkan inflasi jadi tantangan meskipun angkanya masih dalam batas yang wajar dan sesuai prediksi. "Tapi, korelasi inflasi dengan besarnya subsidi tentu jadi tantangan," katanya.
Ia mengatakan, yang mesti dilakukan pemerintah adalah memastikan subsidi yang porsinya cukup besar dari APBN. Selain itu, subsidi itu harus mengalir pada sasaran yang tepat. Jumlahnya juga harus tepat, tidak melebihi batas kepatutan. “Ini PR kita dalam waktu dekat," ucapnya.
EKO ARI WIBOWO