TEMPO Interaktif, Jakarta - Keluarga almarhumah Ruyati binti Satubi menuntut pemerintah Arab Saudi membeberkan secara transparan perkara hukum yang menyeret wanita berusia 54 tahun itu ke hukuman pancung pada Sabtu 18 Juni lalu.
Putra bungsu Ruyati, Iwan Setiawan mengatakan sebelumnya tidak ada penjelasan mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan ibunya, baik sebelum maupun setelah eksekusi terjadi. "Kami hanya dapat kabar ibu dituduh membunuh majikannya," kata Iwan ketika dihubungi Tempo, Ahad 19 Juni 2011.
Seharusnya, kata dia, dijelaskan bagaimana ibunya melakukan pembunuhan, apa yang digunakan membunuh, dan apa motifnya. Semua pertanyaan yang membawa ibundanya ke hukuman pancung itu tidak diketahui keluarga.
Dia meminta Pemerintah Indonesia mendesak pengadilan Arab Saudi menjelaskan dasar eksekusi tersebut, sehingga keluarga paham peristiwa yang sebenarnya terjadi.
Di mata anak-anaknya, Ruyati merupakan sosok wanita pekerja keras. Memasuki usia tua, Ruyati tidak mau hanya berdiam diri di rumah dan merepotkan anak-anaknya.
Meski sempat dilarang saat hendak berangkat ke Arab Saudi menjadi pembantu rumah tangga, Ruyati tetap bersikukuh ingin bekerja.
Bahkan, ketika menjalani masa tahanan mulai 12 Januari 2010 lalu, Ruyati tidak pernah mengeluhkan masalah di alaminya. Setiap kali berbicara melalui sambungan telepon kepada anak-anaknya, Ruyati selalu bicara kondisinya baik. Ruyati bekerja sebagai pembantu di rumah Heriya, di Mekkah.
Ibunya, kata Iwan, tidak mungkin nekat membunuh jika majikannya berlaku baik.
Iwan dan keluarganya sering mendapat kabar dari rekan kerja ibunya, Murni, asal Palembang, yang menjadi pembantu rumah tangga adik majikannya Heriya.
Murni mengabarkan kalau majikan ibunya sadistis. Dia kerap menendang dan memukuli Ruyati menggunakan sepatu.
Bahkan, tiga bulan pertama bekerja Ruyati mengalami patah tulang kaki akibat didorong majikannya dari lantai dua. "Tidak dirawat di rumah sakit, dan tetap dipaksa bekerja dalam kondisi kaki patah," katanya.
Masih berdasarkan kabar dari Murni, di rumah majikan Ruyati itu tidak pernah ada pembantu yang betah bekerja dalam waktu lama. Maksimal dua bulan, karena majikannya selalu berlaku kasar. "Ibu saya mesti khilaf, tidak mungkin dia membunuh tanpa sebab," katanya.
Iwan menyesalkan tidak ada pendampingan hukum terhadap ibundanya selama menjalani hukuman baik dari pemerintah apalagi dari jasa penyalur tenaga kerja PT Dasa Graha Utama. Kabar persidangan setiap kali ibundanya diajukan ke meja hijau, keluarganya hanya mendapat penjelasan dari Migran Care.
Kabar eksekusi bahwa ibunya telah dipancung, juga pertama kali datang dari Migran Care. Tepatnya Ahad (19/6) pukul 03.00 dini hari, lewat sambungan telepon.
Ruyati telah tiga kali berangkat ke jazirah Arab menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Pada keberangkatan pertama, Ruyati bekerja selama 5 tahun di Madinah. Sempat pulang kemudian kembali untuk kedua kalinya dan bekerja di Kota Abha, selama 6 tahun. Terakhir Ruyati ke Mekkah, dan bekerja 1,4 tahun.
Pada 9 bulan bekerja, Ruyati dua kali mengirim uang hasil bekerja masing-masing Rp 9 juta. Ruyati meninggalkan 3 orang anak, dan tujuh orang cucu. Kedua kakak Iwan adalah Een Nuraeni, 35 tahun, dan Epi Kurniati, 30 tahun.
HAMLUDDIN