TEMPO Interaktif, Jakarta - Ratusan dosen dan karyawan Universitas Indonesia berunjuk-rasa di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka, Jakarta, Senin 2 Mei 2011 kemarin. Dalam aksi yang digelar bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, mereka menuntut adanya kejelasan mengenai status kepegawaian.
Ketua Presidium Paguyuban Pekerja UI, Andri Wibisana, menjelaskan bahwa persoalan ini terjadi setelah diberlakukannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. "Kami minta multisistem kepegawaian dihentikan. Tetapkan semuanya menjadi PNS," tuntutnya saat berorasi. Oleh sebab itu, aksi protes dilakukan di depan Istana Negara agar mendapat perhatian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Massa mengenakan ikat kepala berwarna dan membentangkan sejumlah spanduk. Dalam salah satu spanduk tertulis “Segera Laksanakan Pengalihan Status Pekerja UI ke PNS”. Sementra spanduk lainnya berisi tuntutan kejelasan status kepegawaian menjadi pegawai negeri sipil.
Mewakili dosen dan karyawan, Andri berpendapat penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum justru memunculkan ketidakjelasan status bagi karyawan UI. Sejak penetapan UI menjadi badan hukum milik negara tahun 2000, kebijakan itu ternyata tidak seperti yang diharapkan. Setelah lebih 10 tahun berlalu, belum semua karyawan UI yang jumlahnya sekitar 12 ribu orang itu berstatus sebagai pegawai negeri. Malah masih ada karyawan yang telah bekerja puluhan tahun dengan status honorer. “Ini pelanggaran hak asasi,” tegas Andri.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan dinyatakan tak berlaku sejak 31 Maret 2010 setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi.
Rektor UI, Prof. Dr. der. Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, tidak mempersoalkan demonstrasi yang dilakukan karyawannya. Saat ini UI memang sedang memproses pengangkatan pegawai honorer menjadi pegawai universitas serta pegawai badan hukum milik negara (BHMN) menjadi pegawai badan layanan umum (BLU). “Sebagian akan menjadi pegawai negeri sipil,” tuturnya. Meski demikian, ia menilai akan sulit melaksanakan tuntutan agar seluruhnya menjadi pegawai negeri sipil.
RIRIN A | MARTHA RUTH