TEMPO Interaktif, Jakarta - Suciwati, istri almarhum Munir Said Thalib menilai rencana pemerintah kota Den Haag menamai salah satu jalan dengan nama Munir sebagai hal yang ironis. Sebabnya, dunia internasional terus memberikan pengakuan pada Munir, namun kasusnya tak kunjung diselesaikan pemerintah Indonesia.
Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berjanji menuntaskan pembunuhan pegiat hak asasi manusia tersebut.
"Ini ironi, harusnya (Presiden) malu, Indonesia ternyata tidak berubah dan dia mengukuhkan rezim masa lalu," kata Suci melalui sambungan telepon, Ahad (3/4).
Menurut Suci, Yudhoyono dalam pertemuan dengannya mengatakan jika kasus Munir tak terungkap, maka Indonesia tak bakal berubah dari rezim masa lalu. Ternyata, hingga kini perkara itu masih belum tuntas.
Suciwati menuturkan, kabar tentang Jalan Munir itu datang ketika ia sedang berada di Den Haag untuk berpartisipasi dalam Festival Film "Movies That Matter". Ia muncul dalam film "Unjust" karya Josefina Bergten, yang menjadi salah satu peserta festival besutan lembaga hak asasi manusia Amnesty International. Film itu mengisahkan tiga janda dari Indonesia, Sri Langka, dan Thailand yang menuntut keadilan atas kematian tak wajar suami mereka.
Senin 28 Maret 2011 malam, saat Suciwati merayakan ulang tahunnya dengan sejumlah teman, Direktur Festival Film Taco Ruighaver memberi tahu berita tersebut. "Dia bilang ada hadiah khusus, kejutan dari Walikota Den Haag, berencana membuat Jalan Munir," ucapnya.
Jalan Munir yang kemungkinan disebut Munirstraat itu, katanya, adalah rencana jangka menengah Walikota, sehingga realisasinya tak dalam waktu dekat. "Mungkin satu sampai lima tahun ke depan. Saya serahkan pada teman-teman Amnesty International, tolong ingatkan Walikota pada janjinya," ujar Suciwati.
Ia menyatakan akan terus mendorong penuntasan kasus pidana maupun perdata Munir di tanah air. "Saya nggak punya harapan banyak, apalagi kalau para pejabatnya ini orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran HAM, tapi nanti kalau sudah ganti (pejabat), bisa saja (tuntas)," ucapnya.
Munir wafat di usia 38 tahun di atas pesawat Garuda Indonesia, dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam pada 7 September 2004. Saat menjadi Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, ia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat.
Ketika terbang ke Amsterdam, ia menjabat Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial dan bermaksud melanjutkan studi di Belanda.
Pada 20 Desember 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior.
19 Juni 2008, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Muchdi Pr, orang dekat Prabowo Subianto dan politisi Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Namun ia divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008.
BUNGA MANGGIASIH