TEMPO Interaktif, Jakarta - Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Hasyim Muzadi, mengkhawatirkan perubahan sikap partai-partai politik di Indonesia akhir-akhir ini. "Tren sekarang partai pragmatis dan menjadi komoditi, tidak hanya di PPP, tapi diseluruh parpol," kata dia dalam Seminar Sehari yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan bertema 'Meneguhkan Kembali Kesungguhan Berpartai' di Jakarta, Selasa 15 Maret 2011.
Sikap pragmatis semacam ini, kata Hasyim, menjadi salah satu faktor yang membuat suara PPP merosot. Sikap pragmatis ini tidak hanya terlihat di lini tokoh-tokoh PPP saja, tapi juga pengurus partai hingga kebawah. Artinya, ada pragmatisme total yang terjadi. Ditambah lagi pengkaderan yang 'loyo' di hampir semua tempat.
"Paling tidak kita harus menyelamatkan diri dari pragmatisme berlebihan, itu kenapa partai ada pengkaderan. Jangan orang masuk seenaknya, orang dipinggir jalan juga disilahkan masuk," ujar Hasyim.
Soal pengkaderan ini tentu tak bisa diserahkan kepada figur tokoh semata, tapi sistem yang membangunnya. Walaupun tentu saja komando tetap dari figur yang berada di atas. Cara inilah yang memungkinkan PPP untuk kembali 'moncer' sebagai partai Islam. "PPP masih termasuk partai Alhamdulillah, wujudnya masih utuh hanya kurang service, kurang perawatan. Waktunya dikasih oli tidak dikasih, waktu dipompa tidak dipompa," kata dia.
Karena, menurut dia, 'onderdil' partai ini masih utuh. "Yang dibutuhkan itu revitalisasi, dan itu harus dilakukan oleh tokoh yang vital. Tidak bisa kita membentuk orang dilakukan oleh orang yang tidak punya bentuk. Tidak bisa semua orang pinginnya jadi pengurus tapi tidak mau mengurus, akhirnya dia sendiri jadi urusan."
Dia juga berharap PPP masih bersemangat menata kembali partai. "Insya Allah saya bisa membantu, tapi kalau jadi pengurus saya masih berat karena tugas saya di Pesantren Depok menciptakan pengkaderan Islam yang Indonesiawi, sulit diserahkan ke orang lain," kata dia.
MUNAWWAROH