TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, Slamet Effendy Yusuf menilai, sejumlah aturan pelarangan terhadap aktivitas Ahmadiyah yang hendak diberlakukan di daerah tingkat provinsi, kabupaten dan kota, baik dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Bupati atau Walikota, merupakan solusi sementara untuk menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat.
"Jadi, jangan bilang itu inkonstitusional," kata Slamet, usai mengikuti pertemuan tokoh agama di kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, Senin 8 Maret 2011.
Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor itu beralasan, jika keberadaan Ahmadiyah ini dibiarkan, bakal terjadi konflik lagi di tengah masyarakat. Karena itu, ia dan beberapa tokoh agama lainnya dari Majelis Ulama Indonesia dan Muhammadiyah meminta kepada pemerintah untuk secepatnya mencari solusi yang jernih dan teliti, dalam mensikapi konflik atau masalah-masalah berbau agama.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksnono mengatakan pembuatan aturan daerah tentang pelarangan aktivitas Ahmadiyah di berbagai daerah provinsi, kabupaten dan kota itu terburu-buru.
Alasannya, hingga kini pemerintah pusat belum memiliki sikap, apakah Jamaah Ahmadiyah ini dibubarkan atau cukup dilarang beribadah saja. "Ini menyangkut kepercayaan. Saya tidak bisa menilai, apakah Perda itu konstitusional atau inskostitusional. Pemerintah tak mau buru-buru," kata dia.
Menurut mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 itu, ada dua pandangan ihwal perda. Yakni menganggapnya tidak sah karena inkonstitusional (tak sesuai konstitusi), atau sah karena konstitusional. Itu yang menyebabkan munculnya perbedaan sikap dari berbagai daerah. Karena itu sudah ada daerah yang mengeluarkan Perda larangan Ahmadiyah ini, namun ada juga yang belum.
Sementara, pemerintah, kata Agung, masih berusaha untuk mencari solusi terrbaik soal Ahmadiyah. "Ini sangat penting karena kami belum bisa mengambil kesimpulan," kata dia.
MUHAMMAD TAUFIK