Sebab, kata Ariyanto, acuan hukum yang digunakan tak memberi wewenang penuh pada BPN untuk menyelesaikan sengketa. Akibatnya, banyak kasus sengketa tanah tak selesai meski telah tahunan umurnya.
“Wewenang BPN terbatas. BPN hanya berperan sebagai pencatat administrasi. Kita tukang catat bukan tukang pemberi hak”, kata Ariyanto dalam rapat kerja komite I Dewan Perwakilan Daerah dengan agenda pembahasan sengketa tanah Hak Guna Usaha yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara dengan masyarakat, Selasa (1/2).
Ariyanto menambahkan, belum ada acuan hukum pasti yang mengatur peran BPN dalam hal penyelesaian sengketa tanah. “Yang ada hanya Undang-undang Agragaria”, kata Ariyanto.
Ihwal penyelesaian sengketa tanah ini mengemuka dalam rapat kerja yang diadakan komite I DPD-RI pagi tadi. Rapat membahas permasalahan sengketa tanah, khususnya yang melibatkan PT Perkebunan Nusantara II dengan masyarakat Sumatera Utara.
Dari total area Hak Guna Usaha seluas 62.214 hektar milik PTPN II, hanya 56.341 hektar tanah yang diperpanjang HGU-nya. Sementara area 5.873 hektare sisanya tidak diperpanjang HGU-nya oleh PTPN II. Area yang tidak diperpanjang ini menimbulkan masalah lantaran batas area yang belum secara tegas memisahkan area HGU PTPN II dan yang bukan. Lahan sengketa itu antara lain berada di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, dan kota Binjai.
Ariyanto mengatakan, dalam waktu satu atau dua bulan mendatang, pihaknya akan menyusun usulan peraturan yang dapat menegaskan peran BPN dalam penyelesaian sengketa tanah. “Untuk jangka pendek kita buat peraturan internal. Untuk jangka panjang kita berharap ada Undang-undang pokok pertanahan”, kata Ariyanto.
Peraturan internal tersebut, kata Ariyanto, diharapkan dapat memberi wewenang melaksanakan keputusan pengadilan tata usaha negara soal sengketa tanah yang sudah inkracht.ANANDA BADUDU