TEMPO Interaktif, SURABAYA - Wakil Walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono membantah dugaan keterlibatannya dibalik aksi unjuk rasa massa yang menuntut pemberhentian Tri Rismaharini. Dugaan tersebut muncul karena Bambang tidak termasuk yang dituntut mundur oleh massa.
”Waduh, begitu menang Pilkada saya langsung sampaikan kepada induk organisasi melalui Ketua DPC dan DPD bahwa saya siap ditarik sewaktu-waktu. Lagi pula saya toh tidak bisa lagi menjadi walikota,” katanya melalui pesan pendek dari telepon selulernya ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo, Senin siang (31/1).
Ihwal dugaan bahwa Bambang telah pecah kongsi dengan Tri Rismaharini, Bambang mempersilahkan untuk mengklarifikasinya kepada para pejabat di Pemkot Surabaya, berbagai elemen masyarakat, warga PDI Perjuangan sebagai pengusung, bahkan juga kalangan anggota DPRD.
Menurut Bambang, perseteruan yang berkepanjangan antara DPRD dengan Walikota hanya karena masalah komonikasi politik yang membuat salah satu pihak tersinggung.
Sementara itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menjadi satu-satunya fraksi dari tujuh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya yang menolak pemberhentian Walikota Surabaya Tri Rismaharini.
Juru bicara Fraksi PKS Tri Setijo Purwito ketika menyampaikan pandangan fraksinya terhadap hasil kerja Panitia Hak Angket DPRD, Senin (31/1), mengatakan belum cukup bukti dan data untuk memberhentikan Tri Rismaharini dari jabatannya.
Menurut Tri Setijo, rekomendasi Panitia Hak Angket untuk menyelenggarakan sidang paripurna pemberhentian Tri Rismaharini merupakan langkah yang terlalu jauh.
”Kesalahan Wali Kota hanya masalah teknis dan DPRD bisa menilainya melalui LKPJ, sehingga tidak memerlukan hak angket,” kata Tri Setijo.
Adapun enam fraksi lainnya telah bulat menyatakan sikap untuk tetap memberhentikan Tri Rismaharini sebagai walikota.
Peraturan Wali (Perwali) Kota Surabaya Nomor 56 tahun 2010 tentang perhitungan nilai sewa reklame dan Perwali Nomor 57 tentang perhitungan nilai sewa reklame terbatas di kawasan khusus kota Surabaya, melanggar Permendagri nomor 16/2006 tentang prosedur penyusunan hukum daerah. Sebab Walikota tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dalam membahas maupun menyusun Perwali.
Lahirnya Perwali tersebut juga telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Selain itu, seperti yang sudah dinyatakan Persatuan Pengusaha Periklanan Indonesia (PPPI) dalam surat protesnya, kenaikan tarif iklan di Surabaya yang mencapai lebih dari 300 persen jauh lebih mahal dibandingkan dengan di Jakarta.
Iklan dengan ukuran 200 meter persegi di Jalan Asia Afrika Jakarta hanya Rp 161 juta. Tapi di Surabaya, tepatnya di Jalan Mayjen Sungkono, semula Rp 145 juta, naik menjadi Rp 574 juta.
JALIL HAKIM | FATKHURROHMAN TAUFIQ