TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal tidak adanya pelanggaran berat hak asasi manusia semasa kepemimpinan dia.
"SBY harusnya bicara juga sebelum 2004. Apa saja pelanggaran HAM beratnya," kata Koordinator Eksekutif Nasional Federasi Kontras Haris Azhar dalam keterangan pers di kantornya, JUmat 21 Januari 2011.
Yudhoyono mengungkapkan kegembiraannya atas hasil penegakan HAM di Indonesia dalam sambutan penutupan rapat pimpinan TNI dan Polri di Balai Samudera, Jakarta, kemarin. "Saya senang dan bersyukur tahun-tahun terakhir sejak 2004 tidak ada pelanggaran HAM berat," ujar Yudhoyono.
Presiden mengakui adanya tindak kekerasan di Papua oleh anggota TNI. Presiden meminta hal itu diselesaikan secara terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan. Semua yang terlibat, kata Presiden, harus ditindak secara hukum dan diberi sanksi yang keras. "Saya prihatin atas kasus di Papua, itu bukan kebijakan jenderal, marsekal, maupun pemerintah. Itu insiden," ujar Presiden.
Presiden menjelaskan, kasus berskala kecil yang dilakukan bintara dan tamtama itu dampaknya sampai mendunia. Presiden sampai harus menjelaskan kasus itu kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Rugi waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjelaskan," kata Yudhoyono.
Menurut catatan Kontras, dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan negara dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia memang menurun. Tapi, di luar negara, ada aktor-aktor lain yang terus melakukan pelanggaran HAM. Misalnya pelanggaran HAM oleh massa organisasi tertentu atau oleh kelompok yang mewakili kepentingan bisnis.
Lagi pula, menurut Haris, penegakan hak asasi di suatu negara harus dilihat dari dua sisi: peristiwa pelanggaran HAM terbaru dan penuntasan atas kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Sayangnya, menurut Haris, selama dua periode kepemimpinan Yudhoyono, tidak ada upaya hukum yang menimbulkan efek jera bagi para pelanggar HAM berat pada masa lalu.
Dalam kasus pembunuhan Munir Said Talib, kekerasan di Aceh, dan kekerasan di Papua, misalnya, belum ada penuntasan yang memuaskan korban. "Pemerintah tampak abai dalam penuntasan pelanggaran masa lalu," kata Haris.
Ketua Dewan Federasi Kontras Usman Hamid juga mempertanyakan komitmen Presiden Yudhoyono dalam penuntasan kasus-kasus HAM berat. "Kalau terus menghindar, maka jaminan ketidakberulangan kasus itu rapuh." Akibatnya, kata Usman, pelanggaran hak asasi mudah sekali terjadi.
l Dianing Sari | EKO ARI WIBOWO