TEMPO Interaktif, Jakarta - Intensitas kasus-kasus kekerasan terhadap para pembela hak asasi manusia, seperti aktivis, mahasiswa, dan jurnalis, di sepanjang tahun 2010 lalu dinilai masih sangat tinggi. Hal tersebut masih terjadi lantaran aparat gagal melindungi kerja aktivis.
Alih-alih mencegah, aparat malah cenderung membiarkan kekerasan terhadap sejumlah pembela hak asasi. Mayoritas kasus, seperti pembacokan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S Langkun, tak kunjung tuntas hingga kini.
Apalagi, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat seolah tak serius memberikan payung hukum untuk melindungi para pegiat hak asasi. "Regulasi tak kunjung diselesaikan pembahasannya," kata Al Araf, Direktur Program Imparsial, saat dihubungi via telepon, Jumat 31Desember 2010 kemarin.
Ia juga menyinggung kasus penyerangan kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Sulawesi Tengah yang terjadi Kamis, 30 Desember 2010 lalu. Al Araf meminta jangan sampai ada impunitas untuk para penyerang tersebut. Lembaga pegiat hak asasi manusia itu menilai impunitas adalah praktek yang menyebabkan kekerasan terus menerus terulang.
"Konsekuensinya, aktivis pembela HAM selalu terancam," ujarnya. "Kekerasan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap pembela HAM."
Ia mendesak pemerintah dan para penegak hukum serius memotong rantai impunitas tersebut. Impunitas adalah ketidakmungkinan, de jure atau de facto, untuk membawa para pelaku kejahatan dan kekerasan guna mempertanggungjawabkan perbuatan mereka dalam persidangan.
seperti dikabarkan sebelumnya, kantor sekretariat AJI Kota Palu, Kamis lalu diserang belasan orang berbaju seragam Front Pemuda Kaili (FPK). Belasan pemuda datang pukul 10.30 WITA, merusak sejumlah barang di Sekretariat.
Penyerangan diduga terkait portal berita "beritapalu.com" milik AJI Kota Palu yang memberitakan perusakan Gedung KNPI Sulawesi Tengah oleh Front Pemuda Kaili pada saat pemilihan Ketua KNPI Sulawesi Tengah pada Selasa, 28 Desember 2010 lalu. Kelompok pemuda itu marah dengan berita tersebut. Berita berjudul “FPK Serang Graha KNPI Sulteng” tersebut dinilai merugikan organisasi mereka.
Berdasarkan catatan AJI Indonesia, selama 2010 terjadi 37 kasus kekerasan terhadap jurnalis namun hanya 2 kasus yang diadili. Ini menunjukkan penegak hukum selama ini melakukan pembiaran aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis.
Lebih jauh, KontraS juga meminta pihak Polda Sulawesi Tengah untuk melibatkan Kompolnas, Komnas HAM serta Dewan Pers dalam menyelidiki kasus kekerasan terhadap AJI Kota Palu. Penyelidikan yang serius akan membuka jalan penghentian praktek kekerasan terhadap para jurnalis, khususnya di daerah.
BUNGA MANGGIASIH