“Soal korban misalnya, semua instansi melakukan penghitungan untuk kepentingan yang berbeda-beda,” ujar Prof.Dr. Sudibyakto dari Research Center for Disaster Universitas Gajah Mada, Senin (29/11).
Dia mencontohkan, Dinas Sosial akan menghitung korban untuk kepentingan biaya hidup korban, Palang Merah Indonesia untuk menyiapkan bahan pertolongan dan lain-lain.
Dalam situasi itu, sebagian besar kegiatan masyarakat juga tanpa pengarahan. “Akibatnya profesor dan tukang becak sama-sama melakukan pengumpulan nasi bungkus, “ ujar anggota pengarah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Media Gathering “Penataan Ruang sebagai Instrumen Mitigasi Bencana”. Hal itu juga terlihat dari ketidakjelasan penggunaan dana-dana yang dikumpulkan berbagai pihak pasca bencana.
Menurut Sudibyakto, harus ada desain besar untuk penanganan bencana di mana terdapat kepemimpinan yang jelas. Kepemimpinan itu bisa diperankan oleh BNPB, Kepala Daerah, atau disesuaikan dengan jenis bencana. Masalah kebakaran misalnya, akan dipimpin oleh Dinas Kehutanan, banjir oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Sementara itu mengenai pemanfaatan Tata Ruang sebagai mitigasi bencana, dia menegaskan, perlunya pemerintah daerah membuat pemetaan detail mengenai resiko bahaya bencana. Peta yang mencakup pola evakuasi bencana itu kemudian harus disosialisasikan dan menjadi panduan dalam pembangunan tata ruang. “Bahkan sampai pola bangunan yang ramah gempa,” ujarnya.
Terkait dengan masalah itu, Kepala Subdit Pembinaan Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Harjono Dwijowinarto menyebutkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana disebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman. Ketentuan itu sudah diterapkan di daerah Wasior setelah terjadinya bencana. “Itulah wujud mitigasi melalui tata ruang,” ujarnya.
ROFIQI HASAN