Tak hanya itu, dua hari setelah peristiwa itu saat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, istri Sultan Hamengkubuwono X menengoknya di rumah pengungsiannya di Dusun Ngenthak, Kelurahan Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, Kamis (28/10) siang, ia diminta untuk menjaga Gunung Merapi.
“Kowe saiki sing tunggu Merapi (kamu sekarang yang menunggu Merapi),” kata Hemas saat itu. Ponimin tak langsung menyanggupinya.
Tiga kali Merapi meletus, ia selalu selamat dari amuk wedhus gembel. Katanya, setiap kali Merapi mau meletus ia selalu diingatkan makhluk gaib. Bagaimana kisah Ponimin selama ini? Berikut wawancara Tempo dengan Ponimin di rumah pengungsiannya, Jumat (29/10).
Tanya: Anda bersediakah menerima tawaran Keraton untuk menggantikan Mbah Maridjan?
Jawab: Sampai saat ini saya belum bisa menjawab. Pada minggu-minggu ini keinginan saya adalah bagaimana bisa membuat gubug (rumah) untuk bisa ditinggali bersama keluarga.
Saya akan salat istikharah dulu. Jika Allah mengizinkan, saya bersedia. Namun, itu juga tergantung isteri saya. Jika isteri saya mengizinkan, saya bersedia. Sebaliknya, jika isteri saya melarang, saya tidak akan mau menerima tanggung jawab itu.
Tanya: Sejak kapan sih Anda menjadi Abdi Dalem?
Jawab: Sejak 2001. Saya mendapat gelar Suraksa Ponihardja dengan pangkat jajar (pangkat terendah). Sebelumnya, belum pernah ada keluarga saya yang menjadi Abdi Dalem. Karena ada konflik, pada 2006 saya keluar.
Tanya: Sebenarnya tugas utama sebagai juru kunci Merapi itu apa?
Jawab: Ya menjaga Merapi. Selain itu, juga melaksanakan perintah keraton. Maksudnya, melaksanakan kewajiban untuk melakukan upacara-upacara adat di Gunung Merapi setiap tahunnya sesuai perintah keraton.
Tanya: Pengalaman Anda pada waktu Merapi meletus tahun-tahun sebelumnya bagaimana?
Jawab: Mulai letusan Merapi tahun 1997 sampai letusan tahun 2006, saya biasanya selalu diingatkan oleh makhluk gaib.
Makhluk itu biasanya selalu memberi petunjuk. Jika ingin selamat dari amukan Merapi harus membuat syarat tertentu. Misalnya menggantungkan kupat luwar yang dilengkapi rajah Arab dan uang logam Rp 100 bergambar gunung dan kemudian digantung di pintu atau ruangan di dalam rumah.
Seminggu sebelum Merapi meletus Selasa (26/10/2010) saya juga ditemui makhluk gaib yang mengatakan butuh rabuk (pupuk) manusia dalam jumlah banyak.
Tanya: Siapa makhluk itu?
Jawab: Saya tidak perlu sebut namanya. Yang jelas, selalu ganti-ganti.
Tanya: Lalu, bagaimana Anda dan keluarga bisa selamat?
Jawab: Sekitar pukul 17.00 saya sedang duduk bersama isteri di ruang tengah. Ada urusan bisnis gergajian kayu yang harus diselesaikan.
Saya menyerahkan uang Rp 15 juta kepada isteri saya untuk membayar utang bisnis gergajian kayu. Sisanya, Rp 10 juta, baru mau saya masukkan ke tas. Tapi tiba-tiba terdengar suara sirine. Saya pergi ke kebun untuk mencari daun awar-awar dan daun dadap serep. Dua jenis daun ini biasa saya gunakan untuk syarat meminta selamat.
Sementara isteri saya justru ke halaman, duduk dan membaca ayat suci Al Quran. Saat saya kembali dari kebun, isteri saya sudah lari masuk rumah. Saya dan anak-anak juga lari masuk rumah bersamaan dengan datangnya awan panas. Kami berlindung di balik rukuh (mukena) isteri saya. Udara di sekeliling saya panas. Genting rumah beterbangan. Kaca-laca jendela pecah berantakan.
Saya minta tolong lewat telepon, namun tak ada yang mau menolong. Bahkan ada yang menjawab, "Sudahlah, pasarah saja." Saya lalu kelepasan mengumpat. Makanya kaki saya melepuh terkena awan panas.
Setelah awan panas reda, kami berusaha keluar rumah. Mobil di halaman ternyata masih utuh. Padahal tiga motor di dekatnya luluh. Kami bermaksud pergi dari rumah dengan mobil. Namun baru beberapa saat jalan, ban mobil meleleh karena panas.
Kami kembali masuk rumah. Kami kemudian mengumpulkan bantal dan sajadah. Ada tujuh bantal dan satu sajadah. Benda-benda itulah yang kemudian kami gunakan sebagai jembatan estafet keluar dari rumah, menjauh dari bekas-bekas awan panas. Setelah berjalan estafet cukup jauh, tiba-tiba ada Pak Tris (tetangganya) yang kemudian menolong kami. Kami dibawa ke rumah sakit Panti Nugroho.
Tanya: Apakah Merapi masih akan meletus lagi?
Jawab: Saya tidak berani meramalkan. Yang jelas, dalam minggu-minggu ini masih sangat rawan. Saya sedih.
HERU CN