Ketiganya adalah Bustaman bin Bukhari, Tarmizi bin Yacob, dan Parlan bin Dadeh. Kontras menilai, peristiwa tersebut bisa sampai terjadi karena pemerintah tak menaruh perhatian dan tidak maksimal dalam menangani warganya yang dipidana mati.
“Data jumlah WNI terpidana mati juga masih simpang siur. Kedepannya, pemerintah harus memberi bantuan hukum pada semua WNI yang terancam vonis mati,” kata Kepala Biro Kontras Papang Hidayat saat dihubungi, Ahad (10/10).
Kontras juga menyoroti revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Menurut Papang, revisi tersebut justru sebuah kemunduran. “Karena dalam ketentuan yang baru, hanya memberi sekali peluang pengajuan grasi bagi terpidana mati,” kata dia.
Namun, Kontras memberi apresiasi pada pemerintah Indonesia, karena sudah hampir dua tahun tidak melaksanakan hukuman mati. “Pascareformasi, pada 2008 kan masih ada empat hukuman mati. Lalu pada 2009, masih sepuluh yang dieksekusi. Sedangkan hampir dua tahun terakhir, tidak ada lagi eksekusi mati. Ini perkembangan positif,” ujar Papang.
Di dunia internasional pun, Papang melihat ada perkembangan positif soal pelaksanaan hukuman mati. “Saat ini semakin banyak negara yang sudah meninggalkan hukuman mati di negaranya secara de jure,” jelasnya.
Ia berujar, sudah ada 96 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk segala jenis kejahatan, dan delapan negara menghapuskannya untuk jenis kejahatan biasa.
Sebelumnya pemerintah menyatakan tidak akan menghapus hukuman mati dari sistem peradilan di Tanah Air. Meskipun Indonesia telah ikut meratifikasi konvensi hak asasi manusia internasional, hukuman mati masih dinilai perlu untuk mencegah munculnya tindak pidana ekstrim yang berdampak luas bagi orang lain.
"Begitu hukuman mati ditiadakan, mungkin perkara-perkara berat lebih banyak muncul. Sedangkan sudah ada hukuman mati saja tidak takut, apalagi tidak ada hukuman mati," kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar di Jambi, kemarin (9/10) siang.
ISMA SAVITRI | MAHARDIKA SATRIA HADI