TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai Indonesia perlu melayangkan nota protes balik ke Malaysia terkait peristiwa penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia yang sempat ditahan pihak Malaysia. "Nota itu bisa jadi bukti jika ada Mahkamah Internasional soal perbatasan itu,' ujarnya saat dihubungi oleh TEMPO, Rabu (18/8).
Menurut Hikmahanto, tidak menguntungkan bagi Indonesia jika memaksakan memohon untuk digelarnya Mahkamah Internasional soal perbatasan wilayah laut dengan Malaysia. Sebab, Indonesia masih belum banyak bukti. "Lebih baik dibiarkan mengambang terlebih dahulu,' ujarnya.
Pertimbangan untuk mengambangkan persoalan ini, kata Hikmahanto, karena khawatir i kasus Pulau Sipadan dan Ligitan kembali terulang. Selain itu, dalam mekanisme Mahkamah Internasional, hal yang tidak terprediksi bisa terjadi, misalnya saja kecurangan atau apapun.
"Pemerintah sebaiknya berbenah dulu soal perbatasan kita,Jika tidak, maju ke mahkamah internasional malah merugikan kita," ujarnya.
Persahabatan dua negara, Indonesia-Malaysia kembali terusik pasca penangkapan tiga aparat DKP di wilayah batas laut antara dua negara oleh otoritas keamanan Malaysia. Ketiga aparat ini sebelumnya menangkap tujuh orang nelayan asal Malaysia yang diduga mencuri ikan di wilayah Indonesia. Akhirnya kedua negara bersepakat untuk menukar tahanan, walau itu tidak diakui oleh pemerintah.
Andrinof Chaniago dari Universitas Indonesia menyatakan perlakuan Malaysia sudah mencederai rasa kebangsaan rakyat Indonesia. Jika pemerintah tidak segera merancang solusi untuk kedua belah negara, bukan tidak mungkin akan memancing reaksi individual masyarakat di kedua belah pihak. "Padahal secara politis, kedua negara ini saling membutuhkan," ujarnya.
Andrinof meminta pemerintah lebih bisa tegas. Sebab ini soal kedaulatan sebuah negara. "Indonesia jangan kehilangan lagi (Seperti Sipadan dan Ligitan)," ujarnya.
SANDY INDRA PRATAMA