Ketua Komisi Keuangan DPRD Sumenep Abrory mengatakan, praktek pungli tersebut diduga dilakukan oleh oknum kepala desa dan pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep. "Pungutan mencapai Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu per orang, padahal pensertifikatan tanah yang merupakan program nasional itu seharusnya gratis,” ujarnya, Selasa (29/6).
Menurut dia, tim pencari fakta akan menelusuri dasar hukum apa yang digunakan tujuh kepala desa di Kecamatan Arjasa melakukan pungutan. "kalau pun ada peraturan di desa, pungutan hingga Rp 500 ribu itu tidak wajar," tuturnya.
Abrory meminta kepala desa yang melakukan pungutan segera mengembalikan uang kepada warga yang menjadi korban pungutan. Dia mengancam akan membawa kasus tersebut ke jalur hukum. "Sesuai hasil rapat Komisi, kami minta uang dikembalikan jika tidak punya dasar hukum yang kuat," ucapnya.
Kasus dugaan pungli tersebut ditemukan anggota DPRD Sumenep, Babrul Aini. Dia mengatakan 46 warga Arjasa menjadi korban pungli. Sebanyak 36 orang di antaranya bahkan membuat pernyataan tertulis dan 10 lainnya mengirimkan bukti kwitansi pembayaran ke DPRD. "Semua bukti sudah di tangan kami, tidak ada yang bisa mengelak lagi," kata Badrul.
Menurut Badrul, salah seorang kepala desa mengakui pungutan dilakukan untuk kebutuhan makan, minum, dan tempat tinggal petugas BPN yang melakukan pengukuran tanah warga. "Alasan itu tidak bisa dibenarkan," kata Badrul pula.
Adapun tujuh kepala desa yang diduga melakukan pungli yaitu Kepala Desa Duko, Kalikatak, Angon-Angon, Arjasa, Bilis-Bilis, Laok Jang-Jang, dan Desa Kalinyangger.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan DPRD, Senin kemarin, Kepala BPN Sumenep Kusbandi membantah melakukan pungli. "Demi Allah kami tidak pernah lakukan pungli," katanya.
Menurut Kusbandi, untuk membiayai Program Nasional (Prona) pensertifikatan tanah warga, BPN Sumenep mendapat kucuran dana Rp 1,8 miliar. Tahun 2010 ini ditargetkan bisa mensertifkatkan 6.000 bidang tanah di Sumenep, baik wilayah daratan maupun wilayah kepulauan. MUSTHOFA BISRI.