Menurut dia, sistem pengadilan pajak yang sekarang tertutup tidak lagi sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sudah semakin demokratis.
“Pengadilan pajak ini kan pengadilan khusus yang hakim-hakimnya adalah hakim ad hoc semua. Saya rasa perlu dikaji ulang,” kata Drajad saat dihubungi Tempo hari ini. Drajad menilai, tak hanya pengadilan pajak yang harus direvisi tetapi juga masalah cukai dan kepabeanan.
Ia beranggapan sistem perpajakan yang ada saat ini telah menggabungkan fungsi eksekutif, legislatif dan penyidikan dalam satu lembaga. “Jika ada kasus pajak biasa itu masuk ke Dirjen Pajak, kemudian ke pengadilan pajak baru ke MA. Dirjen Pajak dan orang-orang pajak tersebut benar-benar menguasai fungsi eksekutif, legislatif dan juga fungsi penyidikan,” ujarnya.
Drajad menilai sistem pengadilan pajak seperti itu perlu dikaji ulang. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga menyatakan pengadilan pajak diisi oleh orang-orang pensiunan pajak yang ditunjuk langsung oleh Dirjen Pajak.
“Ini berarti ada kepanjangan tangan dari fungsi eksekutif. Sistem pajak seperti itu kalau dijalankan di negara yang banyak malaikatnya justru bisa berjalan bagus, tapi kalau di masyarakat kita bisa rusak,” kata dia.
Saat ditanya apakah sebaiknya pengadilan pajak dimasukkan ke dalam pengadilan umum, Drajad mengatakan jika masuk dalam pengadilan umum sama saja dengan menyerahkan koruptor kepada koruptor lain. “Pengadilan umum sama saja korupnya. Di situ mafianya banyak sekali. Jangan sampai revisi UU ini nantinya hanya memindahkan mafia saja dari satu tempat ke tempat lain,” tuturnya.
Menurut dia, kasus Gayus Tambunan adalah salah satu bukti sistem pengadilan pajak yang tidak berjalan baik. Drajad yakin masih banyak kasus mafia pajak yang tidak terungkap. “Sudah jadi rahasia umum kalau oknum-oknum pajak itu kekayaannya banyak, tapi tidak pernah melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan),” ujarnya.
Rosalina