“Semangatnya agar lembaga-lembaga itu institusi yang modern yang dicirikan adanya transparansi dan kontrol publik,” kata Busyro seusai memberikan materi pada Workshop HAM bagi Jejaring KY di Denpasar, Bali, hari ini.
Dengan kewenangan yang minimal, KY sendiri berusaha maksimal memeriksa semua salinan putusan hakim yang dilaporkan ke lembaga ini. Ternyata, kata dia, banyak ditemukan adanya manipulasi fakta dalam pengambilan keputusan. “Kami tidak peduli keputusannya, tetapi pertimbangan hukum dan prosesnya harus tepat,” ujarnya.
KY juga banyak menerima keluhan dari publik mengenai sulitnya mengakses proses dan hasil persidangan. Padahal, masyarakat yang menjalani persidangan membutuhkan kepastian hukum.
Kurangnya transparansi, kata Busyro, juga telah menjadi penyebab kurangnya terobosan hukum oleh kalangan hakim sesuai dengan doktrin hukum yang responsif dan progresif. “Pendekatannya cenderung formal, meskipun sering bertentangan dengan HAM,” dia menegaskan.
Dalam pantauan KY, jumlah putusan hakim yang bermuatan terobosan hukum mencapai hanya 25 persen.
Suparman Marzuki dari Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia mengatakan kurangnya transparansi harus menjadi agenda yang mendesak bagi Mahkamah Agung. “Sekarang ini untuk jadwal sidang pun sering tidak jelas, sehingga nasib terdakwa terkatung-katung,” ujarnya tegas.
Dia berharap infrastruktur lembaga peradilan bisa dilengkapi karena selama ini terjadi kekurangan ruang sidang , jaksa dan hakim sehingga beban mereka terlalu besar.
Rofiqi Hasan