TEMPO Interaktif, Pekanbaru - Greenpeace meragukan terlaksananya moratorium atas hutan lahan gambut tanpa intervensi dan tindakan nyata pemerintah. Intervensi itu, antara lain menuangkannya dalam keputusan presiden hingga intervensi atas konsesi yang ada, khususnya di lahan gambut Semenanjung Kampar, Riau.
“Deklarasi penghentian penebangan hutan itu akan tidak berarti tanpa adanya keputusan hukum dan politik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar juru kampanye Greenpeace Asia Tenggara Zulfahmi di Pekanbaru, Jumat (4/6).
Greenpeace menilai langkah Presiden Yudhoyono di Norwegia minggu lalu, yang telah mendeklarasikan moratorium (penghentian sementara) penebangan hutan selama dua tahun, tidak akan bisa menyelamatkan sekitar 1,8 juta hektare hutan yang telah ditetapkan dari kehancuran tanpa intervensi terhadap konsesi yang telah ada.
“Tanpa intervensi nyata Presiden tidak akan bisa mencapai komitmennya menurunkan emisi Indonesia hingga 26 persen dengan atau tanpa bantuan internasional,” ujar Zulfahmi.
Untuk kawasan gambut Semenanjung Kampar di Riau misalnya, Zulfahmi mengatakan kawasan hutan gambut terdalam di Indonesia itu saat ini masih mengalami penghancuran oleh perusahaan raksasa APRIL, meski pemerintah sudah mengumumkan moratorium dan bahkan November 2009 lalu Kementerian Kehutanan sudah mencabut sementara izin tebang APRIL. Hutan gambut dan habitan harimau di Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi juga saat ini masih terus dihancurkan oleh perusahaan milik Sinar Mas, Asia Pulp & Paper (APP).
Greenpeace menyimpulkan, jika Indonesia ingin menurunkan emisi secara cepat dan signifikan, moratorium ini harus diaplikasikan dalam bentuk keputusan presiden untuk menghentikan semua konversi lahan gambut dan hutan, baik konsesi baru maupun yang telah ada. Untuk konsesi yang telah ada, yang harus dihentikan adalah konsesi yang berada di kawasan gambut dan hutan.
Sementara itu, sejumlah aktivis Riau sangat pesimis atas tercapainya deklarasi moratorium yang dicanangkan pemerintahan Yudhoyono. Aktivis menilai selama dua raksasa industri Pulp, PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) serta PT Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP), masih beroperasi di Riau, maka selama itu pula penebangan dan perusakan hutan akan terus berlangsung.
“Pemerintah untuk kemudian bakal tutup mata saat persoalan devisa dan tenaga kerja dijadikan alasan perusahaan untuk tetap beroperasi,” ujar Jhony S Mundung, salah seorang aktivis lingkungan Riau. “Soal penegakan hukum atas mereka yang secara kasat mata melakukan pelanggaran hukum saja, kita tidak mampu. Deklarasi moratorium hanya bagian dari upaya pencitraan saja, bukan upaya penyelamatan hutan.”
JUPERNALIS SAMOSIR