Total kerugian tersebut merupakan hasil penelitian ICW secara mendalam sejak tahun 2002 hingga 2006. Dari hasil penelitian tersebut diperolah pula rerata kerugian pertahun mencapai Rp 371 miliar. Hasil perhitungan ICW tersebut berbeda dengan perhitungan yang dilakukan oleh audit Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan hasil kerugian yang dialami negara dalam pengelolaan hutan di kawasan Riau hanya mencapai Rp 491 miliar.
Menurut Anggita, sebab utama dari kerugian negara tersebut dikarenakan adanya praktek penyimpangan dan korupsi dalam pengelolaan hasil hutan. Praktik tersebut antara lain; pajak kehutanan dan royalti kayu yang ditebang secara liar dan tidak pernah dipungut, kekurangan karena besarnya subsidi yang tidak diketahui di industri kehutanan (termasuk pajak yang berdasarkan nilai pasar dan nilai tukar yang rendah) , serta kerugian karena penghindaran pajak oleh exportir yang lebih disebut 'transfer pricing'. Semua perhitungan tersebut tidak mencakup kerugian negara akibat kerusakan lingkungan.
Lembaga pemantau korupsi tersebut juga melakukan penelitian terhadap penanganan kasus pembalakan liar yang semakin menurun di kawasan hutan Raiu. Tahun 2002 terdapat 36 kasus yang ditangani, Tahun 2003 terdapat 24 kasus, Tahun 2004 sebanyak 10 kasus, dan Tahun 2006 tersisa hanya 5 kasus yang ditangani oleh aparat.
Atas hasil tersebut , Anggita yang mewakili ICW menyatakan bahwa pemerintah harus segera menindak lanjuti temuan akan adanya indikasi kerugian negara akibat pengelolaan hasil hutan di kawasan Riau tersebut. "Harus ada tindak lanjut terhadap temuan BPK atau masyarakat atas adanya indikasi kerugian tersebut," tegas Anggita.
GUSTIDHA BUDIARTIE