TEMPO Interaktif, Surakarta - Pemerintah Belanda membantu mengembangkan energi biogas di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Program Biru (biogas rumah). Manajer Program Biru Robert de Groot mengatakan biogas bertumpu pada bahan baku kotoran sapi.
“Kami melihat Jateng-DIY berpotensi untuk pengembangan biogas karena memiliki kepadatan ternak sapi yang tinggi,” katanya kepada wartawan, di sela-sela workshop koordinasi dan implementasi Program Biru di Surakarta, Kamis (15/4). Kotoran sapi dipilih karena banyak tersedia dan selama ini hanya menambah beban pencemaran lingkungan.
Biogas adalah gas yang dihasilkan dari fermentasi kotoran manusia atau hewan. Gas tersebut dapat digunakan sebagai bahan bakar maupun listrik. Robert menerangkan, pihaknya sudah menguji coba pemakaian biogas di Kecamatan Mojosongo, Boyolali. “Ada 18 reaktor yang kami bantu buat,” ujarnya.
Biaya pembuatan reaktor bervariasi, tergantung ukurannya, yaitu dari 4 hingga 12 meter persegi. Misalnya untuk ukuran empat meter persegi butuh dana Rp 5,7 juta. “Kami mensubsidi Rp 2 juta dan sisanya ditanggung masyarakat,” jelasnya.
Ukuran 4 meter persegi membutuhkan 30 kilogram kotoran sapi per hari dan dihasilkan 1 meter kubik biogas. “Bisa untuk memasak dengan kompor biogas selama empat jam.”
Secara spesifik, biogas yang dihasilkan diperuntukkan bagi keperluan memasak. Dia beralasan, lebih mudah dalam pemanfaatannya. Sebenarnya, bisa juga untuk penerangan atau listrik. “Tapi teknologinya lebih rumit. Lebih mudah untuk memasak,” terangnya.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Tengah Teguh Dwi Paryono menyebut potensi pengembangan biogas di Jateng terbuka lebar. Sebab, “Peternakan sapi tersebar di seluruh kabupaten/kota,” katanya.
Tahun lalu, kata Dwi, pihaknya sudah membangun pengolahan kotoran sapi menjadi biogas di Sragen, Boyolali, Blora, dan Wonogiri. Tahun ini akan dibangun di Grobogan dan Pati.
Robert menargetkan tahun ini bisa membangun 350 reaktor biogas di Jateng-Yogyakarta. Untuk saat ini, sudah ada 222 reaktor yang siap dibangun, misalnya di Cangkringan, Sleman dan Getasan, Kabupaten Semarang, yang dari hasil identifikasi terdapat banyak sapi perah.
Salah seorang pengguna biogas di Boyolali, Sentosa, mengaku mengambil banyak manfaat dari biogas. Dia sekarang menjadi lebih irit untuk keperluan memasak. “Sebelum menggunakan biogas, setiap bulan saya mengeluarkan Rp 150 ribu untuk membeli gas elpiji,” tuturnya.
Dia memakai biogas sejak November 2009, di mana waktu itu membuat reaktor ukuran 6 meter persegi. Sentosa juga tidak kesulitan dalam mencari bahan baku karena memiliki 30 ekor sapi. Keuntungan lain menggunakan biogas, katanya, kotoran sapi sebelum dijadikan pupuk kandang bisa diambil gasnya untuk keperluan memasak.
UKKY PRIMARTANTYO